Antara Zakat dan Toxic Charity
Gema JUMAT, 18 September 2015
Oleh Farid Septian
BAZNAS Divisi Pendistribusian dan Pendayagunaan
Sebagaimana sektor keuangan, lembaga zakat memiliki inherent risk dalam pengelolaan dana zakat. Tentunya dengan kualitas dan dimensinya yang berbeda dengan sektor keuangan.
Dalam International Working Group on Zakat Core Principles yang diselenggarakan oleh BAZNAS – IDBBI pada 29 Agustus 2014, disepakati setidaknya ada empat resiko pengelolaan zakat. Pertama, resiko reputasi dan kehilangan muzaki. Kedua, resiko penyaluran. Ketiga, resiko operasional. Kempat, resiko transfer zakat antarnegara.
Pada tulisan kali ini penulis akan menyoroti lebih dalam mengenai resiko penyaluran (disbursement risk) dengan alasan beberapa hal. Pertama, sesungguhnya tujuan pengelolaan zakat sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Selain itu guna meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Dengan kata lain tujuan pengelolaan zakat adalah soal manfaat zakat bagi mustahik (penyaluran). Kedua, jika diperhatikan dalil ayat penyaluran didahulukan urutannya dalam Alquran daripada dalil ayat penghimpunan. Ayat penyaluran disebutkan oleh Allah SWT pada surat at-Taubah ayat 60. Sedangkan penghimpunan termaktub di ayat ke-103 pada surat yang sama.
Hal ini menurut Prof Didin Hafidhuddin mengisyaratkan pentingnya perhatian kita pada penyaluran tentunya tanpa menafikan soal penghimpunan dan lainnya. Ketiga, saat ini, meminjam istilah Patrick Corvington (2011), adalah era ‘compassion boom’, dimana cinta kasih atau kepedulian untuk menolong sesama makin meningkat.
Ini menunjukkan urgensi penanggulangan resiko penyaluran zakat menempati prioritas untuk dikaji karena terkait dengan resiko lainnya.
Dimensi Resiko Kali ini kita coba melihat lebih jauh soal resiko penyaluran (disbursement risk). Hal ini menjadi penting. Mengapa? Sebab salah satu capaian prestasi amil zakat saat ini mulai bergeser tidak lagi sekedar diukur dari seberapa besar dana zakat yang terhimpun. Tapi juga seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh penerima dana zakat.
Tujuan utama dari penyaluran dana zakat bukan sekedar pada deretan angka-angka penghimpunan dana atau sekedar menutupi kebutuhan dasar mustahik. Bukan. Tapi juga mampu mentranformasi kondisi mustahik menjadi muzaki.
Setidaknya ada dua dimensi yang perlu kita kaji terkait dengan resiko penyaluran. Pertama, dari sisi pengelola atau lembaga zakat itu sendiri.
Kedua, dari sisi dampak negatif penyaluran dana zakat kepada mustahik. Dari sisi pengelola atau lembaga zakat wajib untuk menjamin bahwa proses penyaluran dana zakat sesuai dengan sistem operating procedure yang disepakati. Penyaluran dana zakat harus memiliki indikator yang jelas dan terukur.
Hal-hal yang perlu diperjelas dalam penyaluran dana zakat antara lain; standar indikator mustahik, batas kemiskinan, efektifi- tas dan efisiensi penyaluran dana, batas waktu penyaluran, standar pelayanan, rasio biaya operasional program penyaluran dan lain-lain.
Prinsip-prinsip Good Governance seperti transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kepastian hukum, profesionalitas, propor- sionalitas, dan lainnya harus diimplementasikan dalam pengelolaan zakat. Terlebih zakat merupakan ibadah (bukan sekedar mengelola keuangan) dalam Islam yang tentunya harus memperhatikan kesesuaian syariah (shariah compliences).
Dari sisi dampak negatif penyaluran dana zakat kita dapat berkaca dari hasil riset Robert Lupton yang dijadikan buku berjudul Toxic Charity (2011). Walaupun berbeda antara zakat dan dana charity, akan tetapi pengalaman Lupton dapat kita gunakan sebagai cermin analisis.
Dari judul buku tersebut kita tahu background tulisan tersebut adalah berlatar pada tradisi berbagi kristiani perkotaan, khususnya di Atlanta, Amerika Serikat. Lupton menulis tentang pengalamannya dan melakukan otokritik terkait dengan metode pelayanan dan pengembangan kaum miskin khususnya di wilayah perkotaan.
Lupton menggambarkan bahwa niat baik kita untuk berderma tidak selalu berdampak baik, terkadang dapat menurunkan martabat orang miskin yang kita bantu, dan pada saat yang sama meningkatkan ketergantungan mereka, mengubah orang miskin menjadi pemintaminta, bahkan melanggengkan kemiskinan itu sendiri.
Usaha-usaha dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang banyak dilakukan oleh lembaga charity, menurut Lupton, hanya berhasil menciptakan kelas bawah yang permanen, menghancurkan struktur keluarga, dan mengikis etos kerja mereka. Sementara itu orang miskin menjadi lebih miskin dari sebelumnya.
Lupton, mengutip Dambisa Moyo, seorang pakar ekonomi Afrika yang juga pengarang buku “Dead Aid” mengungkapkan fakta dalam lima puluh tahun terakhir negara-negara miskin Afrika telah mendapatkan bantuan lebih dari satu triliun dolar AS. Tentunya ini bukanlah jumlah yang sedikit. Namun permasalahannya adalah sejauhmana efektifitas bantuan yang telah diberikan tersebut?
Fakta menunjukkan negara- negara di Afrika hari ini tidak lebih baik dari pada kondisi mereka pada 50 tahun yang lalu, bahkan jauh lebih buruk. Secara keseluruhan pendapatan perkapita mereka di bawah pendapatan per-kapita pada 1970-an.
Lebih dari setengah populasi warga negara Afrika hidup dengan pendapatan di bawah 1 dolar AS per-hari. Angka harapan hidup stagnan dan angka buta huruf meningkat.
Hal ini adalah satu kondisi dalam skala besar, dimana besarnya bantuan tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan kondisi penerima bantuan, bahkan menciptakan ketergantungan. Niat pemberi bantuan mungkin baik, tetapi kita sering lalai akan dampak negatif pada sisi emosional, ekonomi, dan kultural penerima bantuan.
Tidak semua bentuk atau aktivitas charity adalah toxic. Setidaknya charity itu memiliki dua manfaat minimal, yakni menginspirasi dan menyelamatkan hidup manusia. Namun masalahnya ingatan memori kita terlalu pendek sementara recovery membutuhkan waktu yang panjang. Namun demikian dapat kita simpulkan bahwa ketika bantuan tidak berlanjut pada empowerment maka lambat laun kedermawanan dalam charity kita menjadi racun (Lupton, 2011: 7).
Tentunya kita berharap tidak ada Toxic Zakat, baik toxic yang melekat pada pengelolaan zakat itu sendiri, maupun toxic pada dampak penyaluran dana zakat yang menimpa mustahik zakat. Karena pada dasarnya zakat berarti bersih suci, berkah, tumbuh berkembang, dan terus bertambah. Seyogyanya pihak yang terlibat dalam zakat: muzaki, amil, dan mustahik makin bersih suci hatinya, makin berkah hidupnya, tumbuh dan berkembang usaha dan hartanya, dan semakin bertambah rasa syukurnya kepada Allah SWT.
The Oath Dua dimensi resiko pendistribusian dana zakat sebagaimana yang dipaparkan di atas memiliki karak- ter pendekatan penanggulangan yang berbeda. Kita patut bersyukur dan manyambut positif atas inisiasi BAZNAS – IDBBI dalam penyusunan Zakat Core Principle (ZCP). Menurut Beik (2014) setidaknya ada dua alasan penting penyusunan Core Principle.
Pertama, standarisasi untuk meningkatkan kualitas pembangunan zakat. Standarisasi ini membuat “bahasa” pengelolaan zakat akan sama di seluruh dunia sebagaimana halnya “bahasa” perbankan. Kedua, keberadaan ZCP akan menjadi sumber referensi dalam memperbandingkan kinerja pengelolaan zakat antar negara sekaligus sebagai sarana belajar yang efektif antar negara.
Lahirnya ZCP akan dapat menyeleksi dan memaksa lembaga zakat agar lebih governance dalam pengelolaanya. ZCP ini adalah ‘tekanan’ untuk memperbaiki tata kelola dunia zakat yang masih dinilai belum standar dan terkelola dengan baik. Pada akhirnya ZCP ini akan mengurangi ancaman resiko penyaluran.
Justru saat ini lembaga zakat perlu bekerja lebih keras dalam menghadapi ‘bahaya’ dampak negatif penyaluran zakat pada aspek mental, emosional, ekonomi, dan kultural penerima dana zakat. Sebagaimana kita tahu bahwa sukses atau tidaknya program penanggulangan kemiskinan sangat dipengaruhi oleh social worker yang berkecimpung langsung melayani dan memberdayakan kaum miskin. Peran mereka, menurut Lupton, tak ubahnya seperti dokter yang ingin menyembuhkan pasiennya.
Lupton (2011) mengusulkan bahwa mereka yang ingin melayani orang miskin secara efektif untuk menerapkan prinsip seorang dokter yang bersumpah sebelum melaksanakan tugasnya dengan apa yang dikenal dengan Sumpah Hipokrates (The Hippocratic Oath).
Sumpah Hipokrates intinya menyaratkan dokter harus menjadi pribadi yang peduli, menempatkan kepentingan pasien pertama dalam keputusan medis, melakukan yang terbaik untuk pasien untuk mempertahankan hidup tapi tidak pernah berperan sebagai Tuhan. Dan di atas semua, apa yang dilakukan oleh dokter boleh tidak membahayakan.
Amil Zakat khususnya yang berperan dalam bidang pendistribusian dan pendayagunaan zakat dapat menggunakan Sumpah Hipokrates dalam pelaksanaan misi kemanusiaannya. Amil Zakat laiknya dokter bagi musta-hik (kelompok penerima zakat). Kemiskinan (mental, spritual, ekonomi) adalah penyakit utama dari mustahik khususnya ashnaf fakir miskin.
Amil harus mendiagnosa penyebab utama dan pendukung yang membentuk kondisi mustahik sedemikian rupa. Setelah itu mereka dapat memberikan ‘obat’ dengan ‘dosis’ yang tepat melalui program pendistribusian dan pendayagunaan.
Terinspirasi dari Sumpah Hipokrates tersebut maka Lupton menginisiasi dengan apa yang disebutnya dengan The Oath For Compassionate Service (Sumpah untuk Layanan Kasih) yang di- ringkas dalam enam poin. Pertama, memberdayakan segenap kemampuan penerima bantuan.
Kedua, membatasi pemberian satu arah. Ketiga, memberdayakan melalui memberi perkerjaan, pinjaman, investasi, dan meng- gunakan dana hibah secara hemat sebagai insentif yang memperkuat prestasi. Keempat, menempatkan kepentingan menempatkan kepentingan orang miskin di atas kepentingan diri sendiri (atau organisasi) walaupun itu mungkin merugikan.
Kelima, mendengarkan dan menilai secara seksama baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tak terucap sehingga tindakan saya pada akhirnya akan memperkuat daripada melemahkan tangan mereka yang dilayani. Keenam, akan melakukan yang terbaik dan tidak merugikan.
Amil Zakat harus mampu melampaui batas inisiasi Lupton soal ‘The Oath di atas, sebab ada dimensi religius yang melingkupi pelaksanaan zakat sebagai rukun dalam Islam. Mustahik harus dimuliakan sebagaimana Allah SWT memuliakan martabat manusia.
Bagaimanapun resiko penyaluran dana zakat merupakan inherent risk yang harus dihadapi. Besar kecil potensi resiko penyaluran dana zakat tergantung setidaknya pada beberapa hal; mental dan kapasitas Amil sebagai sumber daya manusia, sistem prosedur operasional yang baku, pengawasan internal dan eksternal, audit syariah, dan evaluasi dampak penyaluran dana zakat kepada mustahik penerima zakat.
Disusunnya Zakat Core Principle sebagai standar sistem pengelolaan zakat dunia ditambah dengan pembangunan mental, akhlak dan capacity building Amil Zakat yang paripurna akan mempercepat kebangkitan peradaban zakat yang kita impikan selama ini.
Terakhir ada baiknya kita renungkan principles for helpers yang dirilis oleh Focused Community Strategis (FCS) yang digagas oleh Lupton: give once and you elicit appreciation; give twice and you create anticipation; give three times and you create expectation; give four times and it becomes entitlement; give five times and you establish dependency. republika.co.id