Kehadiran Bank Aceh Bermutu Internasional
GEMA JUMAT, 02 JUNI 2017
Oleh Aiyub Muhammad Ali Basyah, SE, M.Ag
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan mereka berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. (Surah Al-Baqarah ayat 275).
Sangat menarik membahas mengenai keberadaan Bank Islam di Aceh, terutama pada saat memasuki bulan suci Ramadhan ini.Menurut sejumlah pakar ekonomi Islam, definisi dari Bank Islam (Bank Syariah) adalah; bank yang beraktivitas berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau hukum Islam dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad. Artinya, Bank Islam harus senantiasa beroperasi dengan mengikuti ketentuan syariah Islam yang menyangkut dengan tata cara bermuamalat (berhubungan baik dengan sesama manusia) secara Islam, misalnya dengan menjauhi praktik-praktik transaksi yang mengandung unsur riba (Antonio dan Perwataatmadja, 1992)
Selanjutnya Bank Islam di seluruh dunia pada dasarnya mendukung kesepakatan para Ulama Islam Internasional yang telah melarang (mengharamkan) pemberlakuan bunga bank. Spirit keislaman ini, terutama kian berkibar sejak lahirnya Islamic Development Bank (IDB) yang berdiri pada tahun 1974, dengan modal awal 2 Milliar Dinar atau setara dengan 2 Milliar SDR (Special Drawing Rights) mata uangnya IMF (Duddy Roesmana Donna, 2007)
Firman Allah SWT yang tertuang dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah ayat 275), seperti yang telah penulis tempatkan pada bagian puncak dari artikel ini, tentu saja selalu menjadi rujukan bagi para praktisi perbankan Islam seluruh dunia untuk mengembangkan aktivitas bisnisnya secara halal. Selanjutnya sejumlah Hadis Nabi Muhammad, juga telah menyampaikan prinsip-prinsip penting dan filosofi-filosofi yang menakjubkan mengenai etika berbisnis yang baik bagi pengelolaan suatu Bank Islam. Dimana pada intinya juga sangat melarang praktik-praktik ‘pembungaan uang’ yang bersifat riba (interest rate)—-karena praktik riba itu bersifat zalim.
Oleh karena itu menurut penulis, larangan terhadap praktik riba sangat urgen diterapkan oleh Pemerintah Aceh. Strateginya, dapat ditempuh melalui penyusunan Qanun baru di bidang ‘Pengelolaan Etika Bisnis di Aceh’. Karena Nabi Muhammad lebih merindukan ummat Islam untuk melaksanakan praktik ‘jual-beli’, entrepreneurship dan pengembangan industri perbankan Islam yang halal dan berkeadilan secara menyeluruh bagi semua pihak. Selanjutnya Lembaga Keuangan Islam juga harus mampu mengikuti perkembangan zaman secaraIslamic humanist.
Adiwarman Azwar Karim, pakar ekonomi dan keuangan Islam, dalam bukunya ‘Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan’menyebutkan, “Eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan pada awalnya di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini sempat mendapat sambutan hangat di Mesir, terutama dari kalangan petani dan masyarakat pedesaan.” Mit Ghamr Bank beroperasi di sebuah Lembah Sungai Nil, Mesir.
Kini Bank Islam telah berkembang di negara-negara muslim, dan di negara-negara non muslim seperti di Denmark, Luxemburg, Inggris, Swiss, Jerman, dan di sejumlah negara lainnya. Kesemua Bank Islam Internasional itu berkembang berdasarkan sistem etika profit margin (bagi hasil). Yaitu sebuah skema pembagian nilai keuntungan bersama secara berkeadilan dan bermartabat yang diberikan oleh Bank Islam kepada semua nasabahnya secara jujur, transparan dan bernilai akuntabilitas tinggi. Kita berharap Pemerintah Aceh dapat mempercepat terwujudnya sebuah ‘Bank Aceh yang bernilai Islam Kaffah dan modern’, sehingga nantinya Bank Aceh mampu ‘go international’. Hal ini sangat urgen dan penting, demi untuk peningkatan nilai kemaslahatan dan kesejahteraan ekonomi bagi Rakyat Aceh secara lebih berkeadilan dan bermartabat. Insya Allah jika ‘Bank Islam Internasional Aceh’ ini segera terwujud, perdamaian Aceh akan terasa lebih adil, bermartabat, bernilai mandiri serta bersifat lebih abadi.
Secara mayoritas, rakyat yang bermukim di Aceh tentu saja semakin memiliki rasa sense of belonging (rasa memiliki) yang lebih tinggi, jika kehadiran Bank Aceh pasca konversi dapat bersifat sebagai sebuah Bank Islam yang beroperasi sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai syariah Islam (The Full Fledged Islamic Bank). Artinya dalam setiap gerak dan tindakan operasionalisasi dari para pemimpin dan semua jajaran manajemen Bank Aceh lainnya, harus konsisten (istiqamah) merujuk pada nilai-nilai etika Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Kemudian dari segi etika perbankan modern, Bank Aceh harus bersifat lebih adil, lebih bernilai rabbaniyah, lebih humanis, lebih jujur dan semestinya lebih bernilai kosmopolit dalam memenuhi sejumlah kebutuhan nasabah Bank Aceh. Karena kini para nasabah Bank Aceh yang berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan tersebut, juga kian banyak yang beraktivitas ekonomi menembus pasar mancanegara.
Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan konsep ekonomi kreatif oleh manajemen Bank Aceh. Terutama guna melayani kebutuhan nasabah dan mitra Bank Aceh lainnya yang kian membutuhkan segi kecepatan pelayanan Bank Aceh yang bernilai standar internasional. Oleh karena itulah, kini Bank Aceh perlu memiliki sebuah sistem pelayanan nasabah secara terpadu dan terintegrasi dengan konsep Bank Islam yang berfasilitas internet banking. Serta memiliki media digital yang ter-update secara modern dan bernilai andal dalam memenuhi sejumlah keluhan dan kebutuhan nasabah selama 24 jam (setiap hari online setiap detik waktu). Kemudian fasilitas untuk kemudahan berbelanja seperti Kartu ATM BerVisa Debet, juga patut dibuat produknya oleh manajemen Bank Aceh. Hal ini sangat dibutuhkan bagi para nasabah Bank Aceh yang berada di dalam perjalanan menempuh pendidikan di luar negeri, menunaikan ibadah haji dan umrah, berobat di luar negeri, ataupun yang sedang bertransaksi bisnis dalam jalur perdagangan internasional. Selanjutnya yang sangat penting lagi, keberadaan Bank Aceh harus sepenuhnya berjiwa entrepreneurship (kewirausahaan) guna membantu mengangkat derajat kehidupan rakyat di Aceh ke arah yang lebih sejahtera, lebih adil, dan lebih makmur. Nah dalam posisi sebagai bank yang berjiwa entrepreneur tersebut, sangatlah indah jika Bank Aceh memberikan bantuan modal pembiayaan yang lebih besar bagi rakyat miskin (termasuk siswa dan mahasiswa miskin di Aceh), dengan menggunakan produk pembiayaan model Al Qardhul Hasan.
Insya Allah, Bank Aceh akan mendapat nilai kepercayaan yang sangat besar dari Rakyat Aceh, jika sudi melaksanakan prinsip-prinsip Bank Islam yang bernilai kaffah dan berkeadilan secara menyeluruh. Terlebih lagi, jika program pemberian beasiswa bagi generasi muda Aceh juga terus ditingkatkan jumlah dana bantuannya oleh manajemen Bank Aceh, dengan memanfaatkan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah, maka insya Allah nama Bank Aceh kian harum di dalam khazanah perbankan nasional dan internasional.
Aiyub Muhammad Alibasyah, SE, M.Ag
(Alumni Jurusan Ekonomi Islam,
Program Pascasarjana (PPS) UIN Ar-Raniry)