Mensyukuri Kandungan
Dr. Sri Suyanta
Gema, 23 April 2018
Oleh Dr. Sri Suyanta (Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry)
Muhasabah Senin 7 Syakban 1439
Saudaraku, sejatinya mensyukuri anak sudah harus dimulai saat ia dalam kandungan atau bahkan saat sejak pernikahan. Meskipun ruh ditiupkan oleh Allah ke atas janin setiap diri saat kandungan berusia sekitar empat bulan atau enambelas pekan, tetapi diyakini secara kuat bahwa sejatinya kehidupan seseorang (baca janin) sudah dimulai sejak berpadunya sel sperma dan ovum di rahim seorang ibu. Di sinilah kehidupan seseorang bermula, sehingga aborsi sebelum ditiupkannya ruh sekalipun tetap menjadi tidak relevan dan tetap dinilai sebagsi tindakan menghilangkan jiwa sebagai sebuah kejahatan yang berefek dosa besar.
Saat sejak berpadunya sel sperma dengan ovum dalam rahim seorang ibu, sudah cukup memberi alasan mengapa pendidikan dalam kandungan menjadi keniscayaan. Bahkan menurut iman Islam, setiap pribadi harus selektif atas pertimbangan syar’i dalam memilih dan menerima pasangan hidupnya. Karena dari sinilah nantinya diharapkan akan lahir pribadi-pribadi pilihan sesuai cita citra Allah penciptanya.
Sesaat setelah perhelatan syukuran pernikahan pada acara walimatul ‘ ursy, adalah wajar bila kemudian pasangan suami istri baru ini berusaha dan berharap segera mendapatkan karunia anak. Di saat karunia datang, si istri kemudian mengandung, tentu rasa syukur yang layak diprioritaskan. Rasa syukur keluarga ini harus ditunjukkan dengan menjaga dan memenuhi segala kebutuhannya. Di sinilah pentingnya kita mengingat tentang akhlak mensyukuri kandungan
Pertama, meyakini sepenuh hati bahwa kesempatan mengandung adalah fitrah seorang ibu atau seorang perempuan sebagaimana kesempatan ngidam, melahirkan dan menyusui. Inilah sesempurna seorang ibu, sebuah peran yang tidak akan pernah dapat digantikan oleh seorang ayah atau seorang laki-laki, yaitu peran mengandung, ngidam, melahirkan dan menyusui. Seorang perempuan atau seorang istri belum lengkap menjalankan peran fitrah keibuannya tanpa mengalami fase mengandung, ngidam, melahirkan dan menyusui. Keempat peran ini merupakan anugrah pengalaman yang tidak akan pernah diungkapkan dan terwakili dalam kata-kata, hanya seorang ibu sajalah yang memahami keikhlasannya.
Kedua, bersyukur dengan memperbanyak ucapan alhamdulillahirabbil’alamin, syukur-syukur sambil membelai mesra perut yang di dalamnya sibuah hati menanti meski masih sangat mula keberadaannya di rahimnya.
Ketiga, seorang suami sebagai imam keluarga mesti kooperatif dalam menyukseskan pendidikan anaknya selagi dalam kandungan ini. Bekerja keras cerdas dan ikhlas sehingga nafkah yang diberikan pada istri dan anaknyapun dipastikan baik, halal dan cukup memadahi. Makanan dan minuman yang halalan thayiban akan menjadi nutrisi penting bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwanya di kemudian hari. Kita mesti ingat bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi ibu diteruskan ke janin sibuah hati akan menjadi darah daging dirinya. Ketika makanan dan minuman iti halal, baik dan cukup, maka demikian juga pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwanya akan baik dan shalih. Demikian juga sebaliknya.
Kermpat, bersinergi dengan suami dalam ketaatan pada Allah taala. Istri saat mengandung meskipun berat (wahnan ‘ala wahnin) tetap harus beraktivitas beribadah bahkan sekarang tidak sendiri lagi tetapi sudah dengan sibuah hati.
Kelima, selalu menyertakan sibuah hatinya dalam ketaatan dan ketakwaan pada Allah ta’ala. Misalnya ketika akan mandi atau bersuci dan berwudhuk, atau mau shalat berjamaah, mau masak, mau menyapu atau mau bekerja di kantor, akan mengajar atau mau beraktivitas ibadah lainnya sebaiknya mengajak atau mengikutsertakan anak meski masih dalam kandungan sembari mengelus-elus perutnya untuk semua aktivitas ibadah sebagaimana diniatkannya.
Baik istri maupun suami harus seiya sekata dalam mendidik anaknya. Lafalkan dengan jelas, indah dan penuh kemesraan seraya mengelus perut yang di dalam rahim sibuah hati menanti ”anakku sayang, sekarang sudah azan saatnya shalat, mari bersama ummi/abi ambil air sembahyang, lalu kita shalat berjamaah ya, berimam dengan abi”. Mari nak kita membaca al-Qur’an ya, mari kita membaca buku ya, mari kita masak ya, mari kita berolahraga pagi ya, sekarang kita meracik sayur ya lalu kita memasak, nah sudah saatnya beristirahat, mari kita betistirahat anakku sayang dan seterusnya dan seterusnya. Jadi kita harus terus mengikutsertakan sibuah hati dalam seluruh aktivitas keseharian ibadah kita.
Keenam, baik istri maupun suami tidak boleh melakukan hal-hal yang sia-sia dan apalagi yang jelas-jelas dilarang oleh syariat Islam, karena sibuah hati juga akan terkondisikan oleh perilaku orangtuanya. Sebagai contoh, para ibu yang sedang mengandung jangan pernah menerobos lalu lintas saat melintas di jalan ada trafic light menyala lampu merah, karena sibyah hati akan belajar dan meniru perilaku ibu. Sedemikian juga calon ayah.
Ketujuh, bersyukur dengan memperbanyak berdoa dan bersedekah. Oleh karenanya kita menjadi mengerti mengapa kearifan lokal saat ada keluarga yang mengandung, nenek kakek kita mengajari melakukan tasyakuran tiga bulanan atau tujuh bulanan dengan bersedekah kepada anak yatim dan sesamanya.