Mensyukuri Pertaubatan
Dr. Sri Suyanta
Gema, 27 Maret 2018
Oleh Dr. Sri Suyanta (
Saudaraku, siapa sih sejatinya diri saya, yang tahu hanya saya dan Allah saja. Istri atau suami atau anak apalagi orang lain mengenal hanya sebagian dari kesejatian saya. Demikian juga anda yang membaca muhasabah ini, yang tahu kesejatian anda hanya anda sendiri dan Allah saja.
Bagaimana perilaku kita sebelumnya? Seberapa banyak dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat? Seberapa sering melalaikan kewajiban kepada Allah, keluarga dan sesamanya? Untungnya semua masa lalu dan dosa kekhilafan kesalahan dan kekurangan kita itu diampuni dan ditutupi oleh Allah Swt, setelah pertaubatan yang kita lakukan.
Oleh karena itu, layak bagi kita untuk mengingat kembali tentang akhlak mensyukuri pertaubatan yang telah kita lakukan.
Pertaubatan di sini tentu tidak terbatas pada pertaubatan dari perilaku salah dan dosa, tetapi juga mengakomodir pertaubatan sebagai maqam pembuka tarakhir kita sebagai hamba pada Rabbnya.
Pertama, bersyukur dengan hati, yakni menyakini sepenuh hati bahwa pertaubatan yang kita lakukan merupakan hidayah dan karunia Allah ta’ala yang sangat besar atas hamba pilihanNya.
Kedua, bersyukur dengan lisan, yakni membiasakan diri melafalkan alhamdulillahirabbil’alamin setiap saat setiap waktu terbaik. Alhamdulillah, Allah telah mengaruniai hidayah sehingga kita melakukan pertaubatan.
Ketiga, bersyukur dengan perbuatan nyata. Di antaranya dengan bertekad kuat dan tidak mengulangi perbuatan yang dapat menimbulkan dosa di masa kini dan masa datang sembari memohon ampun atas istighfar pada Allah.
Keempat, mengganti perilaku salah yang pernah kita lakukan dengan perilaku yang baik atau beramal shalih. Misalnya ketika pernah melalaikan kewajiban shalat di awal waktu di masa lalu, maka sekarang kita menambahi, di samping menunaikan shalat fardhu di awal waktu juga dengan menunaikan shalat-shalat sunnah. Bila di masa lalu sering menghabiskan waktu-waktu terbaik untuk hal-hal yang mubazir, maka mulai sekarang mengisi waktu dengan melakukan aktivitas yang bermakna. Misalnya lebih sering dan lebih lama baca buku atau bekerja ketimbang ngopi sepajang hari di kafe-kafe. Lebih lama beraktivitas di masjid dari mondar mandir yang tidak jelas tujuannya dan seterusnya.
Kelima, bila perbuatan salah yang pernah dilakukan berhubungan dengan sesamanya, maka langkah konkret berikutnya sebagai akhlak adalah menemui, meminta maaf, meminta kehalalan dan menyelesaikan segala urusan dengannya.
Keenam, tidak membebani diri dengan perasaan bersalah secara terus menerus. Ketika sudah benar-benar bertaubat, maka pada saat itu Allah sudah menutupi dan mengampuni semua dosa yang ada. Oleh karenanya, membebani diri dengan dosa masa lalu hanya memubazirkan kesempatan untuk beramal shalih di masa kini dan masa datangnya.)