Mensyukuri Pranata Jual Beli
Dr. Sri Suyanta
Gema, 19 April 2018
Oleh Dr. Sri Suyanta (Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry)
Saudaraku, untuk memenuhi semua kebutuhannya, manusia diwajibkan berdoa dan bekerja mencari nafkah seperti dengan bertani, berkebun, berlayar, bekerja sebagai abdi negara/perusahaan dan seterusnya. Dengan pekerjaan seperti ini tetap saja hanya menghasilkan sebagian dari keseluruhan kebutuhan hidupnya.
Seorang petani hanya akan menghasilkan apa yang ditamannya seperti padi atau jagung atau kedelai atau kopi atau cengkeh atau buah-buahan atau sayur mayur. Nelayan hanya akan memperoleh ikan, dan pegawai memperoleh penghasilan berupa uang. Artinya untuk nemenuhi semua kebutuhan hidupnya, setiap orang harus melakukan tukar menukar barang. Disinilah melahirkan pranata jual beli di sektor perniagaan. Seorang petani padi akan menukar beras dengan barang lainnya atau menjual sebagian berasnya untuk kemudian bisa membeli ikan atau sayur mayur atau minyak atau pakaian. Demikian juga seterusnya.
Oleh karena itu layak untuk diingat kembali tentang akhlak mensyukuri perniagaan.
Pertama, meyakini sepenuh hati bahwa perniagaan atau jual beli merupakan salah satu aspek perekonomian dalam Islam yang sangat signifikan pengaruhnya bagi kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Oleh karena itu meskipun dalam konteks hablum minallah diperbolehkan bertransaksi dengan orang nonmuslim, namun akan lebih maslahat bila jual beli dilakukan dengan sesama muslim. Seandainya ada keuntungan bagi masing-masing muslim, nantinya akan berakumulasi peningkatan perolehan zakatnya. Dan zakat dapat turut mensejahterakan umat Islam.
Kedua, bersyukur dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillah atas terselenggaranya transaksi perniagaan diantara umat Islam.
Ketiga, meniatkan perniagaan yang dilakukan hanya semata-mata untuk menggapai ridha Allah. Langkah praktisnya saat memulai menjual atau membeli sesuatu barang dengan membaca basmalah dan mengakhirinya dengan hamdallah. Syukur-syukur saat menunggu pelanggan atau saat ada waktu luang membasahi bibir dengan zikir atau tilawah ayat-ayat al-Qur’an tertentu.
Keempat, mengukuhkan perilaku jujur dalam berniaga sehingga aktivitas jual beli yang dilakukan didasari atas suka sama suka, sama-sama ridha. Dengan kejujuran, penjual akan terus terang dan tidak akan menutup-nutupi kekurangan barang dagangannya. Pembeli demikian juga.
Kelima, lebih mengutamakan keberkahan, meskipun untungnya sedikit. Oleh karena itu rasanya tidak etis jika melipat gandakan keuntungan. Bila menjual barang dengan selisih harga yang amat tajam dengan modalnya, esok lusa pelanggan tidak akan datang bertransaksi lagi, niscaya pelanggan menjadi kapok dibuatnya, bahkan akan bercerita dengan selainnya. Tetapi dengan untung sewajarnya atau bahkan tipis, maka pelanggan akan datang bertransaksi lagi dan berdakwah pada orang lain, sehingga seperti dibaratkan gerimis tetapi terus menerus, ketimbang hujan hanya sekali.
Keuntungan yang berkah itu tidak selamanya terkait dengan banyaknya untung, tetapi terletak pada kemanfaatannya pada diri juga keluarga dan yang lebih lenting dapat mempengaruhinya untuk semakin dekat kepada Allah SWT. Bila penjual tidak etis memasang harga tinggi untuk meraih untung banyak, maka pembeli juga tidak etis kalau nyinyir saat menawar barang.
Keenam, jual beli hanya pada barang yang halal dalam perspektif Islam saja dan pada saat yang tepat saja
Ketujuh, jual beli hanya dengan cara yang diperbolehlan saja, jauh dari unsur tipu daya.