Mensyukuri Rizki
Dr. Sri Suyanta
Gema, 07 Maret 2018
Oleh Dr. Sri Suyanta (Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry)
Saudaraku, merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia yang diperluas maknanya menurut Islam bahwa rezeki adalah segala sesuatu pemberian Allah yang dapat digunakan untuk memelihara kemaslahatan kehidupan, seperti sandang, papan, pangan, nafkah, pendapatan, keuntungan, kesempatan, keamanan, kebahagiaan, kesejahteraan, kesehatan, ilmu pengetahuan, pemahaman, hikmah, kearifan, dan pemberian Allah lainnya.
Secara sederhana dan untuk kepentingan praktis, seringkali rezeki hanya dipahami sebagai pemberian materi saja misalnya sandang papan pangan dan uang. Padahal masih banyak lagi yang dapat disebut rezeki, termasuk yang sifatnya non materi, psikhis, tidak tampak tapi dirasakan, misalnya keislaman, keimanan, hidayah bisa terus beribadah, kesehatan, kesempatan, keamanan, kesejahteraan, mawaddah wa rahmah bersama suami atau istri meski tidak bergelimang harta, bahagia bercengkrama dengan anak atau cucu, anak cucu memperoleh pendidikan yang layak, hidup hari-hari tidak ada aral melintang, tidak terjadi kecelakaan saat berkendaraan ke tempat mencari nafkah, tidak mengalami musibah kebakaran, dan pemberian Allah lainnya yang tidak tertampungi oleh sederetan kata-kata
Oleh karena itu, layak bagi kita untuk mengingat kembali tentang akhlak mensyukuri rezeki.
Pertama, meyakini bahwa rezeki bagi setiap orang sudah ada yang mengatur. Dialah Allah yang Maha Bijak dan Maha Pemurah. Allah mengutus Malaikat Mikail untuk terus menganugrahkan rezeki kepada sesiapapun yang dihekendakiNya. Kita sebagai manusia, berkewajiban berdoa (misanya melalui shalat-shalat hajad, istikharah, dan dhuha) yang dibarengi dengan usaha atau melakukan sesuatu yang dapat memudahkan dalam meraihnya.
Kita dituntut bijak atas pemberian Allah. Misalnya terkait dengan rezeki dalam bentuk pendapatan, meskipun barang dagangannya sama, lulusan sekolahnya atau kesarjaannya sama, usahanya juga serupa, tetapi rezekinya dan nasibnya bisa berbeda-beda. Persoalan rezeki sering menjadi misteri.
Kedua, membiasakan lisan melafalkan ungkapan syukur, seperti alhamdulillah, hamdan syukran lillah, terima kasih ya Allah atas segala karunia yang hamba terima. Bila kita berhasil memperbanyak ungkapan alhamdulillah dalam keseharian kita niscaya yang ada adalah kehidupan yang didominasi oleh kebaikan, kebaikan, dan kebaikan.
Alhamdulillah dikaruniai umur panjang, alhamdulilah dianugrahi pasangan dan keturunan yang shalih shalihah, alhamfulillah sehat wal afiat, alhamdulilah memiliki saudara, tetangga, teman baik dan ramah, alhamdulillah dikaruniai kesejahteraan kenyamanan, alhamdulilah tidak mengalami paceklik, alhamdulillah tidak kebanjiran dan seterusnya.
Dan biasanya saat menyaksikan atau mendengar musibah kita mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, misalnya saat ada orang wafat, ada kebakaran, ada tabrakan, ada murid atau mahasiswa nakal, ada peserta didik tidak lulus ujian, dan musibah lainnya.
Oleh karena itu, kita berupaya memperbanyak ucapan alhamdulillahirabbil ‘alamin lantaran menuai karunia demi karunia, sekaligus mensedikitkan atau meminimalisir ucapan innalillahi wa inna ilaihi rajiun seiring dengan sedikit atau tidak adanya musibah.
Ketiga, membelanjakan atau menggunakan rezeki hanya di jalan Allah semata. Sebagaimana luasnya rezeki, begitu juga halnya membelanjakannya di jalan Allah. Rezeki itu, baik berupa fisik dan kasat mata maupun kondisi dan tidak kasat mata, maka layak disyukuri dengan dimanfaatkannya untuk memelihara hidupnya, keimanannya, jiwanya, keluarganya, harta miliknya dan kehormatannya.
Keempat, membiasakan mengingat rezeki yang selama ini diterimanya sendiri dan keluarganya, agar bisa lebih bersyukur dan lebih qanaah.