Seulawah ke Burma
GEMA JUMAT, 8 SEPTEMBER 2017
Ada kisah, pesawat kepresidenan RI Dakota RI-001, Seulawah, sumbangan rakyat Aceh ke Pemerintah
Indonesia, yang sedang melakukan perawatan berkala di India pada awal Desember 1948, tak bisa kembali ke
Tanah Air karena terjadi Agresi Militer Belanda II. Atas prakarsa penerbang Wiweko Supono, pesawat itu diterbangkan ke Burma.
Di negara itu, Indonesia mendirikan perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways—cikal bakal Garuda Indonesia—bermodalkan satu pesawat Dakota. Dari Burma dua kali Wiweko menerbangkan pesawat ini menembus blokade udara Belanda untuk menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi, dan obat-obatan ke Aceh.” Demikian dikutip dari artikel Hamid Awaludin – anggota juru runding RI pada dialog RI-GAM di Helsinki, 2005 – berjudul Nestapa Rohingya yang dimuat di Kompas edisi 7 September 2017.
Hamid menyebutkan RI dan adalah dua bangsa yang bersahabat sejak dulu. Soekarno menyebut Myanmar —dulu disebut —sebagai kawan sejati karena negara ini termasuk yang awal mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1945.
Jika ditarik benang jauh ratusan tahun, Aceh memililki hubungan mesra dengan Kesultanan Arakan (Rohang) sejak tahun 1600-an. Laksamana Augustine de Beaulieu dalam bukunya menulis bahwa Portugis secara berkala mengirim perutusan resmi memperbaiki hubungan dengan rajaraja muslim Aceh dan Arakan. Atas nama kemanusiaan, nelayan Aceh membantu pengungsi Rohinya yang terdampar di samudera dengan menarik ke perairan Aceh Timur pada tahun 2005. Kita masih ingat, pada awalnya warga yang memberi bantuan kepada ratusan pencari suaka politik hingga kelak dibangun barak di sana.
Kini setelah 70 tahun, Indonesia kembali terbang ke Myanmar. Bukan untuk bernostalgia namun mengembangkan misi kemanusiaan. Atas nama nilai-nilai kemanusiaan, Indonesia bergerak cepat menghentikan kekerasan di wilayah Negara Bagian Rakhine yang yang mayoritas warganya muslim. Konfl ik di kawasan itu sudah mendera puluhan tahun.
Myanmar menganggap warga di sana bukan warganya maka diusir dan mendapat perlakuan kasar. Pada waktu bersamaan, warga mempertahankan diri dengan membentuk Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA).
Myanmar Jika ditarik benang 1600-an. Laksamana Augustine de Beaulieu dalam bukunya menulis bahwa Portugis secara berkala mengirim perutusan resmi memperbaiki dengan rajaraja muslim Aceh dan Arakan. Atas nama kemanusiaan, nelayan Aceh membantu pengungsi Rohinya yang terdampar di samudera dengan menarik ke perairan Aceh Timur pada tahun 2005. Kita masih ingat, pada awalnya warga yang memberi bantuan kepada ratusan pencari suaka politik hingga kelak dibangun barak di sana.
Nah, jika sejak awal September ini, warga mengungsi ke Banglades setelah ARSA menyerang pos-pos polisi dan pangkalan militer pada akhir Agustus 2017. Penyerangan untuk melindungi umat Islam ini telah menewaskan awah, sia kan paling kurang 11 militer Myanmar. Militer Myanmar dan ARSA saling tuduh dalam peristiwa pembakaran rumahr-rumah dan desa-desa di Rakhine. Mungkin dalam hal ini mengingatkan kondisi Aceh pada era Darurat Militer 2003. Saling membantah dan saling menuduh. Militer Myanmar menyatakan sedikitnya 400 warga meninggal dunia dalam pertempuran keduapihak itu. Sejak itulah paling kurang sekitar setengah juta warga Rohingya mengungsi ke Banglades dengan mempertaruhkan nyawa menyeberang sungai, mendaki gunung dan sebagainya.
Apa yang bisa dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia? Mengirim doa kepada umat Islam agar tetap diberi kekuatan melawan penindasan ini. Kita percaya doa adalah senjata umat. Islam itu adalah ibarat satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka tubuh yang lain juga merasa dampaknya. Tidak diragukan lagi, ukhuwwah umat antar seaqidah harus dirawat dan dijaga. Dalam hal ini, Indonesia bertindak cepat bertemu otoritas Myanmar. Caci maki dan demo besar-besaran tidak menyelesaikan akar persoalan. Bertemu dan bicara dengan langkah awal hentika kekerasan agar bantuan kemanusiaan bisa disalurkan kepada warga Rohingya. Diplomasi senyap dan diplomasi seromonial yang dilakukan oleh Indonesia diyakini bisa mengurangi pertumpahan darah.
Kita yang tinggal di Aceh pada khususnya dan Indonesia pada umumnya tidak tahu pasti apa yang terjadi di Rohingya. Ini seperti Darurat Militer di Aceh, yang tahu pasti itu warga Aceh yang menetap di nanggroe bukan yang tinggal di luar Aceh yang tahu setelah membaca media. Selebihnya dalam krisis kemanusiaan di Rohingya, yang pasti bisa kita amalkan yakni melantunkan doa, menyebarluaskan komen positif atau lebih baik diam karena kurang tidak memiliki informasi yang shahih yang terjadi di ribuan mil dari Nusantara. ”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari). Murizal Hamzah