Islam dan Umat Islam Ibarat Dua Sisi Mata Uang
Ir. H. Faizal Adriansyah, M.Si
Gema JUMAT, 22 JULI 2016
Khatib Ir. H. Faizal Adriansyah, M.Si, Kepala PKP2A IV LAN-RI WILAYAH SUMATERA
Islam dan Umat Islam dua hal yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan ibarat dua sisi mata uang. Kita tahu bahwa nilai dari uang adalah ketika kedua sisinya sesuai, kalau salah satu sisi tidak sesuai maka uang itu tidak laku. Misalnya kita ambil contoh uang sepuluh ribu rupiah, sisi pertama adalah gambar Sultan Mahmud Badruddin II dan sisi kedua adalah gambar rumah limas. Apa yang terjadi ketika salah satu sisi berbeda bukan gambar yang seharusnya? Maka uang tersebut tidak ada nilainya, dibelanjakan kemanapun tidak laku. Begitulah gambaran kondisi kita hari ini.
Islam sebagai sebuah ajaran dia memiliki nilai yng sempurna dan paripurna sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu, Aku cukupkan nikmat–Ku atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agama bagimu”. Islam itu tinggi, mulia, agung dan tiada ada yang dapat menandingi keunggulannya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Al Islamu ya’lu wala yu’la alaihi”.
Namun, ketika kita berbicara umat Islam, maka banyak hal yang menjadikan kita sedih, prihatin dan malu dengan diri kita sendiri, karena umat Islam dalam keseharian tidak mencerminkan keagungan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Cahaya Islam tertutup dan menjadi sirna oleh karena perilaku umatnya. Hal inilah yang pernah disampaikan oleh Muhammad Abduh, ulama dari Mesir pada awal abad ke XX yang silam: “Al–Islamu mahjubun bil Muslimin”.
Menjadi tugas kita semua untuk mengembalikan citra Islam kembali bersinar seperti pada masa kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat dan tujuh abad setelah itu, dimana umat Islam menjadi pelopor-pelopor kebaikan dan pembuka peradaban. Islam dan Umat Islam saat itu kalau ibarat dua sisi mata uang memiliki sebuah nilai yang tinggi, karena perilaku umat Islam sesuai dan sejalan dengan ajaran Islam. Lahirnya ilmuwan-ilmuwan Muslim membuktikan hal terebut seperti dalam bidang hukum Islam kita kenal Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan berbagai tokoh lainnya yang luar biasa menyumbangkan pikiran-pikiran cerdasnya bagi peradaban umat manusia.
Demikian juga dalam bidang sains tidak dapat kita pungkiri peran ilmuwan muslim dalam meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang hari ini berkembang demikian pesat dan menakjubkan. Siapapun tahu bahwa ilmu pengetahuan tidak mungkin muncul tiba-tiba “bim salabim” seperti sulap. Ilmu pengetahuan berproses dan mengalami pentahapan demi pentahapan.
Kecurangan dunia barat hari ini menyembunyikan fakta bahwa umat Islam adalah peletak dasar awal kebangkitan ilmu pengetahuan, tidak akan mungkin ada Newton, Snellius, Eisntein kalau tidak ada ilmuwan-ilmuwan muslim yang membuka jalan bagi peradaban, seperti Al-Khawaridzmi, Al-Haitam, Al-Farabi, Al-Wafa, Al-Kindi dan sebagainya. Bahkan sejarah tidak bisa memungkiri proses peralihan ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat seusai perang Salib diabad ke 12 hingga 15 Masehi, dimana banyak orang-orang Barat yang belajar di negeri-negeri Islam semisal Bagdad, Andalusia, Damaskus dan sebagainya kemudian mereka membawa ilmu itu ke barat dan terus mengembangkannya sampai hari ini.
Sementara kita di dunia Islam terus mengalami kemunduran, umat Islam disibukkan oleh pertikaiaan internal, energi kita habis untuk mempersoalkan masalah-masalah khilafiyah, sementara tugas kita sebagai Khalifah fil Ardhi terabaikan.
Momentum Ramadhan yang baru kita tinggalkan mudah-mudahan bisa menggugah kita untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Pesan-pesan Ramadhan sudah sangat jelas mendidik kita menjadi orang-orang yang cerdas, karenanya Bulan Ramadhan disebut juga bulan tarbiyah atau bulan pendidikan. Kecedasan yang kita dapatkan dalam bulan Ramadhan paling tidak dua hal yaitu kecerdasan spritual dan kecerdasan sosial. Kecerdasan spritual mendekatkan kita kepada Allah dan kecerdasan sosial mendekatkan kita kepada tugas-tugas kita sebagai khalifah di muka bumi.
Kita bisa memulai dari yang kecil seperti membangun kejujuran, kedisiplinan, kebersihan, keramahan dalam kehidupan, maka kelak predikat umat Islam sebaga khairu ummah akan bisa terwujud dalam kehidupan dan orang-orang diluar Islam akan segan serta memperhitungkan kehadiran umat Islam ditengah-tengah kancah kehidupan. Umat Islam akan kembali bernilai, karena menjalankan nilai-nilai Islam dalam semua sisi kehidupannya.
Hari ini, kita mungkin tidak bisa mengubah dunia, kita juga tidak bisa mengubah Indonesia, kita tidak bisa mengubah Aceh. Tapi yang pasti kita bisa mengubah diri kita, maka mari kita mulai dari diri kita “ibda binafsika”.