Keteladanan Rasulullah dalam Keluarga
Tgk. H. Mutiara Fahmi Razali, Lc. MA
GEMA JUMAT, 6 NOVEMBER 2020
Tgk. H. Mutiara Fahmi Razali, Lc. MA, Dosen UIN Ar-Raniry dan Guru Dayah Abu Krueng Kalee
Baru-baru ini beredar berita di berbagai media massa tentang mening-katnya angka perceraian pada masa pandemi di berbagai Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Ketua umum Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4), KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar mengaku prihatin dengan apa yang terjadi. Pandemi bisa jadi memang men-dorong kenaikan jumlah perceraian di berbagai wilayah. Menariknya, Gugatan perceraian dari istri mencapai 73,25 persen dari total 444,358 kasus perceraian pada 2018. Pada 2019, proporsi gugat cerai istri meningkat menjadi 74,04 persen dari 480.618 perceraian. Tahun ini, gugat cerai istri mencapai 228.240 atau 74,42 persen dari 306.688 perceraian dari Januari- Agustus.
Angka-angka diatas cukup memprihatinkan kita. Kebanyakan fak-tor penyebab gugat cerai tersebut didominasi oleh faktor tuntutan ekonomi dan orang ketiga. Pola komunikasi dalam kelu-arga yang tidak harmonis, ketidak-adilan hingga kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi pemicu perceraian. Segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga antara suami dengan istri atau anak, bah-kan pembunuhan hingga pembakaran terhadap bayi kandung –yang dulu hanya dibaca dalam sejarah Arab Jahiliyah Pra-Islam- hari menjadi berita penghias di hampir semua media nasional dan lokal.
Masalah konfl ik dalam keluarga juga berimplikasi secara langsung kepada degradasi moral anak bangsa dan umat secara keseluruhan. Ini karena keluarga adalah inti sel terkecil dari sebuah bang-sa. Moral seseorang dalam keluarga adalah cerminan hakiki dari moral bangsa. Keluarga adalah tempat dimana seseorang menam-pakkan prilakunya secara transparan, jujur, lugas, tanpa dibuat-buat, jauh dari unsur pencitraan yang biasa dilakukan diluar ru-mah dengan rekan sekantor atau dengan rekan. Oleh karenanya, memperbaiki akhlak kita dalam keluarga dan rumah tangga dapat menjadi titik penting dari sebuah perubahan besar menuju perbaikan moral anak bangsa dan umat.
Bertepatan dengan bulan rabiul awal 1442 H, momentum peringatan hari kelahiran Baginda Rasu-lullah saw. sepatutnya kita mensuriteladani akhlak dan kehidupan beliau dalam rumah tangga. Seluruh episode kehidupan beliau dalam berumahtangga ada-lah mata air ketaladanan. Pada kesempatan ini kita hanya memfokuskan pada 6 model keteladan rasul dalam rumah tangga.
Kasih sayang kepada Keluarga
Rasulullah saw merupakan pribadi yang penyayang kepada semua makhluk. Rasulullah saw dikenal sebagai sosok pelindung dan amat mencintai keluarganya. Dalam hadis yang diriway-atkan Imam At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, Rasulullah SAW berkata: “Khairukum, khairukum li-ahlihi wa ana khairukum li-ahlikum,”. “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang terbaik kepada keluargaku”.
Hadis ini memiliki asbabul wurud terkait Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap dilakukan oleh para suami terhadap istri mereka. Mirisnya, alasan agama kadang digunakan sebagai pembenaran dari per-ilaku tersebut. Ketika hal tersebut terjadi di kalangan sahabat, Rasulullah jus-tru menentang sikap para suami yang memukul istri mereka.Dari Iyas bin Abdillah bin Abd Dzubab, Rasulull-ah Saw memberi perintah, “Janganlah memukul per-empuan,” Tetapi datanglah Umar kepada Rasulullah Saw melaporkan bahwa banyak perempuan yang membangkang terhadap suami-suami mereka.
Maka Nabi Saw memberi keringanan dengan mem-bolehkan pemukulan itu. Kemudian (akibat kerin-ganan itu) banyak per-empuan yang datang dan pergi mengitari (mengadu kepada) keluarga rasu-lullah Saw, mengeluhkan suami-suami mereka (yang kerap memukuli). Maka Rasulullah Saw kembali menegaskan, “Telah datang mengitari keluarga Mu-hammad banyak peremp-uan mengadukan praktik pemukulan para suami, mereka itu (para suami tsb) bukan orang-orang yang baik di antara kamu.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini sering kali dijadikan sebagai legiti-masi yang melanggengkan praktek kekerasan dalam rumah tangga. Padahal menurut Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al Azhim dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, maksud memukul di sini adalah memukul yang tidak meninggalkan bekas pukulan (ad-dharb ghair mubarrih). Jika dipa-hami sekali lagi, sesung-guhnya memukul yang tidak memberikan bekas tentu bukanlah pukulan.
Diantara wujud Kekerasan Rumah Tangga adalah perasaan benci kepada pasangan. Seorang suami menzalimi istrinya dengan ucapan-ucapan pedas, bersikap kasar dan terlalu menuntut kesem-purnaan dari pasangannya. Dia melupakan bahwa istri pun memiliki kelebihan disamping kelemahan yang memang setiap orang tidak bisa terlepas darinya. Di-sisi lain suami kadang lupa bahwa dirinya pun memi-liki banyak kekurangan yang dapat dimaklumi oleh para istri. Ketika suami mendambakan istri dengan akhlak Khadijah dan Fati-mah, maka sepatutnya dia juga berperilaku layaknya Nabi Muhammad saw dan saydina Ali Karramallahu wajhah. Allah berfi rman dalam QS. An-Nisa : 19:
“Dan pergaulilah den-gan mereka (istri) secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak me-nyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Seorang istri pun terkadang melakukan praktek KDRT tanpa ia sadari seperti melupakan dan tidak bersyukur akan kebaikan suami. Dia men-untut sesuatu yang tidak mampu dilakukan suami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allah tidak akan melihat istri yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal ia selalu membutuhkan-nya.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Al Hakim)
Kasih sayang Rasul saw terhadap keluarga sangatlah besar. Hal ini diakui langsung oleh Anas bin Malik yang keseharian-nya selalu mendampingi Rasulullah SAW. Anas bin Malik berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih sayang kepada keluarga, selain Rasu-lullah,”.
Keadilan dalam Keluarga
Rasulullah adalah seorang suami yang pandai dalam mengatur urusan rumah tangga. Meski memiliki beberapa istri yang mempunyai ragam sifat dan karakter, latar belakang sosial, serta usia yang berbeda-beda, namun Nabi saw senantiasa berperilaku adil terhadap istri-istrinya dalam segala hal, termasuk sesuatu yang remeh dan sepele. Beliau adil terhadap istri-istrinya dalam pemberian tempat tinggal, nafkah, pembagian bermalam, dan jadwal berkunjung. Jika beliau bermusafir maka nabi juga kerap membawa serta salah satu istrinya dengan sistim undian/qur’ah.
Soal cinta, beliau sangat mencintai Khadijah melebihi semua istri-istrinya yang lain. Khadi-jah adalah istri pertama rasulullah yang pertama sekali mengimani Islam, mendukung dakwah dan risalahnya. Kesetian dan cinta beliau kepada Khadi-jah bahkan terus berlanjut setelah istrinya itu wa-fat. Rasul tetap berbuat baik kepada kerabat dan teman-teman Khadijah sampai-sampai Aisyah cemburu kepadanya. Ai-syah berkata kepada Nabi setelah wafatnya Khadijah ra.: “Kenapa kamu selalu mengenang seorang janda tua, padahal Allah telah memberi ganti kepadamu dengan yang lebih baik.” Maka Rasulullah saw berkata: “Sunggguh, demi Allah, Allah tidak mem-beri ganti kepadaku yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku ketika manusia mengingkariku. Ia menolongku ketika ma-nusia memusuhiku. Saya dikaruniai anak darinya, yang tidak Allah berikan lewat selainnya.” Dari tujuh keturunannya yang mula, Khadijah adalah ibu dari enam anak baginda, kecuali anak ketujuh; Ibra-him yang lahir dari istrinya Mariah al Qibthiyah.
Sepeninggal Khadijah, meski rasul lebih men-gasihi Aisyah dibanding istri-istri beliau yang lain, namun beliau tidak pernah membedakan Aisyah dengan yang lain selaman-ya. Beliau beristighfar kepada Allah swt karena tidak bisa berlaku adil di dalam membagi cinta atau perasaan hati kepada istri-istrinya, karena persoalan yang satu ini adalah hak preogratif Allah swt saja.