MARHABAN YA RAMADHAN
MIZAJ iSKANDAR, LC, LLM
Gema JUMAT, 27 Mei 2016
Tgk. H. Mizaj Iskandar, Lc MA (Khatib Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Ramadhan merupakan bulan sakral yang ditunggu-tunggu oleh semua masyarakat Muslim di seluruh belahan dunia. Oleh sebab itu, persiapan penyambutan bulan sakral ini sudah dilakukan saban hari sebelum masuknya bulan Ramadhan Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan bulan ini begitu istimewa dalam hati umat Islam.
Pertama, bulan ini merupakan bulan diturunkannya al-Qur’an (Q.S, 2:185); kedua, dalam bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dibandingkan seribu malam (Q.S, 97:1-5); ketiga, ibadah sunnah pada bulan ramadhan memiliki kualitas yang sama dengan ibadah wajib dan ibadah wajibnya diberi pahala tujuh puluh kali lipat (H.R. Khuzaimah); keempat, bulan ini terdiri dari sepuluh malam awalnya penuh dengan rahmat, pertenggahannya pengampunan (maghfirah), dan terakhirnya ‘itqum min al-nar (pembebasan dari belenggu api neraka); terakhir (kelima), dalam bulan ini Allah Swt mewajibkan kepada umat Islam berpuasa (Q.S, 2:183-185). Kelak kewajiban ini menjadi salah satu dari rukun Islam (H.R. Bukhari dan Muslim).
Yang terakhir disebut ini merupakan hal yang paling istimewa dibandingkan yang lainnya. Keiistimewaan itu disebabkan agungnya janji Allah terhadap orang yang mengerjakan puasa (al-saim) dalam bulan ini. Janji mendapatkan kedudukan taqwa (la’allakum tattaqun) merupakan cita-cita yang banyak diimpikan oleh kaum Muslim.
Janji taqwa tersebut diungkapkan dengan redaksi yang berbeda dalam hadis Nabi. Dalam sebuah hadis populer Rasulullah menyatakan “orang yang berpuasa penuh dengan iman dan mengharapkan pahala dari Allah (ihtisaban), maka orang tersebut terbebas dari dosanya, seperti baru dilahirkan kembali oleh ibunya (kharaja min dzunubihi ka waymin waladathu ummuhu) (H.R. al-Nasa’i dan Ibn Majjah).
Dalam hadis ini, Nabi cenderung membahasakan taqwa dengan bahasa yang lebih membumi (down to earth). Istilah “menjadi anak kecil kembali” di sini harus dibedakan ke dalam dua kategori. Kategori pertama childnest (kekanak-kanakan) dan kategori kedua childlighnest (memiliki jiwa tulus, murni dan bersih seperti anak-anak). Yang diminta kepada kita melalui ibadah puasa ialah menjadi kategori kedua, yaitu childlighnest.
Childlighnest itulah yang dimaksudkan oleh Nabi dengan kata-kata raja‘a ka yawmin waladathu ummuhu (dilahirkan kembali oleh ibunya). Tentu kelahiran di sini tidak dimaksudkan dengan kelahiran fisik, namun ia merupakan kelahiran metafisik yang lebih identik dengan spiritual. Dan kata “kembali” di sini tidak dimaknakan dengan fisik (mati) namun lebih psikologi (spiritual).
Puasa melatih kita untuk memiliki jiwa tulus, murni dan bersih layaknya seorang anak-anak (childlightnest). Sering kita mendengar anak-anak mendedangkan lagu, “buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya.” Di pihak lain Allah menyatakan orang taqwa itu adalah orang yang tidak pernah dihantui oleh rasa takut dan sedih (susah) bahkan ia selalu mendapatkan berita gembira dari Allah (Q.S, 10/62-64). Dalam kesempatan lain juga Allah Swt menyatakan, “orang-orang yang selalu menyatakan Tuhan mereka adalah Allah dan mereka konsisten terhadap apa yang mereka ucapkan, maka Allah akan mengutus malaikat untuk melindungi orang tersebut dari rasa takut dan sedih, dan mereka akan selalu mendapatkan berita gembira dari Allah.” (Q.S, 41:30).
Namun, yang terjadi sebaliknya. Kebanyakan dari kita berpuasa layaknya puasa anak-anak yang identik dengan kekanak-kanakannya (childnest). Kita lebih senang berkanaval spiritual dalam menyambut ramadhan dibandingan menginsafi ramadhan itu penuh dengan kesadaran batin (belief in and aawareness of the unseen). Pakain baru, makanan berlimpah, pertobatan selibritas, musik bahkan sampai sinetron berbau religi sering menghiasi karnaval ramadhan kita. Khusus di Aceh, Ramadhan merupakan “media efektif” untuk membuat keributan dalam mesjid (sebagaimana yang terjadi pada tahun lalu), ribut jumlah rakaat tarawih dan seterusnya yang kesemuannya merupakan sifat kekanak-kanakan (childnest).
Pada akhirnya penulis mengajak kepada setiap pembaca untuk menjadikan ramadhan ini sebagai sarana kembali ke dalam fitrah kita (childlighnest). Karena kemampuan kembali ke asal penciptaan (fitrah) merupakan purposefulness (tujuan utama) dari ibadah puasa. Oleh karena itu, sesat bukanlah memperdebatkan qunut atau tidak qunut, tarawih delapan rakaat atau dua puluh rakaat. akan tetapi sesat sebenarnya adalah orang yang gagal kembali kepada asal penciptaannya. Kita berasal dari Allah dan kepada Allah lah kita akan kembali (inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabi al-‘alamin).
Semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya, kepada Allah penulis berserah diri, kepada-Nya dipersembahkan bakti dan kepada-Nya pula penulis memohon ampunan, tawfiq, hidayah dan perlindungan. Wallahu a‘lam bi al-haqiqah wa al-shawab.