RAMADHAN DAN KESHALIHAN SOSIAL
Dr.Tgk.H. Muhammad Yasir Yusuf, MA
Gema JUmaT, 23 JUNI 2017
Oleh: Muhammad Yasir Yusuf
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّتِي نَقَضَتۡ غَزۡلَهَا مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٍ أَنكَٰثٗا تَتَّخِذُونَ أَيۡمَٰنَكُمۡ دَخَلَۢا بَيۡنَكُمۡ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرۡبَىٰ مِنۡ أُمَّةٍۚ إِنَّمَا يَبۡلُوكُمُ ٱللَّهُ بِهِۦۚ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ مَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ
(An Nahlu: 92)
Segala puji kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita. Hari ini adalah ramadhan ke 28, 1438 H. Kita berdoa kepada Allah, semoga semua amal ibadah yang kita lakukan dalam bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT dan kita dicatat menjadi orang-orang yang bertaqwa. Shalawat dan Salam kita sanjungkan untuk baginda Rasulullah SAW yang menajdi uswah dan qudwal sepajang hayat dikandung badan.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Rasulullah SAW pernah berpesan berapa banyak orang yang berpuasa Ramadhan, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus. Ia berpuasa, tetapi puasa yang dilakukan tidak bisa mengembalikan dirinya ke titik kefitrahan, padahal semua rangkaian ibadah Ramadhan adalah tangga kembali menuju fitrah. Mengapa? Jawabanya tentu pada manusianya. Sebab ternyata masih banyak orang yang berpuasa Ramadhan tidak maksimal menjalankan ibadah-ibadah yang Allah dan Rasul ajarkan. Banyak orang masuk Ramadhan semata menahan lapar dan haus di siang hari, sementara di malam hari mereka kembali merangkai dosa demi dosa. Banyak orang masuk Ramadhan bukan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan, melainkan untuk meningkatkan omset-omset kemaksiatan. Pun banyak orang masuk Ramadhan dengan semangat di awal-awal saja, sementara di akhir-akhir Ramadhan di mana Rasulullah beri’tikaf dan memburu malam lailatul qadar, malah ia sibuk dengan baju-baju dan kue untuk lebaran. Bahkan yang sangat menyedihkan adalah banyak orang yang hanya semangat beribadah di bulan Ramadhan saja, bagitu Ramadhan pergi, semua ibadah itu lenyap seketika dari permukaan. Masjid-masjid yang tadinya ramai dengan shalat malam dan shalat berjamaah, setelah Ramadhan, kembali kosong dan sepi.
Tidak ada tuntunan dalam Islam bahwa kita wajib mentaati Allah dan rasulNya hanya di bulan Ramadhan saja, setelah itu kita kembali berbuat dosa. Ramadhan sebagai titik tolak kembali ke fitrah sejati. Bahwa dari Ramadhan kita bangun komitmen ketaatan seumur hidup, sepanjang masa dan sepanjang hayat dikandung badan, seperti ketaatan selama Ramadhan. Para Ulama mengatakan bahwa ciri Ramadhan yang mabrur/maqbul adalah apabila kondisi ketaatan kita lebih baik dibandingkan sebelum kita berpuasa. Jangan sampai seperti perumpamaan yang digambarkan Allah dalam surah An Nahl: 92:
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّتِي نَقَضَتۡ غَزۡلَهَا مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٍ أَنكَٰثٗا تَتَّخِذُونَ أَيۡمَٰنَكُمۡ دَخَلَۢا بَيۡنَكُمۡ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرۡبَىٰ مِنۡ أُمَّةٍۚ إِنَّمَا يَبۡلُوكُمُ ٱللَّهُ بِهِۦۚ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ مَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu”. (QS. An-Nahl: 92)
Ini sebuah pelajaran yang sangat mahal. Allah merekam kisah seorang wanita yang hidupnya sia-sia. Dari pagi sampai sore ia hanya memintal benang. Sore hari ketika pintalan itu selesai, ia cerai-beraikan kembali. Allah melarang agar akhlak wanita tersebut tidak terulang kembali pada diri kita. Perbuatan sia-sia adalah kerugian yang nyata. Karena itu Nabi SAW selalu mengingatkan agar kita selalu istiqamah. Ketika salah seorang sahabatnya minta nasihat yang bisa dijadikan pegangan seumur hidupnya, Nabi menjawab: qul aamantu billahi tsummastaqim (katakan aku beriman kepada Allah dan beristiqamahlah). Dalam hadist lain Nabi SAW juga sering mengingatkan sahabat-sahabatnya: laa takun mitsla fulaan, kaana yaquumullaili tsumma taraka (janganlah kamu menjadi seperti fulan, tadinya ia selalu bangun malam, tapi sayang ia kemudian meninggalkannya).
Ramadhan Menuju Keshalihan Sosial
Kaum muslimin, dari amalan–amalan yang kita lakukan di “Madrasah Ramadhan” setidaknya paling sedikit memberikan 3 rangkaian mutiara yang tak ternilai harganya bagi pembentukan kepribadian kita guna menyinari perjalanan kehidupan di dunia menuju tangga negeri akhirat. Tiga mutiara tersebut adalah:
Pertama, Ramadhan mengajarkan kita untuk dekat dengan Allah, melaksanakan perintah karena Allah, mempunyai obsesi hanya untuk Allah dan setia untuk menjauhi larangan-larangan Allah. Inilah hakikat ketaqwaan. Ketaqwaan yang direfleksikan dengan kepatuhan sepenuh hati, jiwa dan raga kepada Allah SWT. Bila Allah perintahkan kita puasa, kita langsung puasa. Padahal itu perbuatan yang sangat berat. Sebab yang kita tahan adalah hal-hal yang sebenarnya halal dan boleh dikerjakan.
Puasa juga melatih kita agar obsesi yang ada dalam diri kita adalah obsesi tentang kehidupan yang abadi di akhirat. Semua janji-janji pahala dari ibadah Ramadhan yang diraih akan kita rasakan kenikmatan di akhirat nantinya. Tidak ada pahala ibadah shiyam yang dibayar cash di dunia. Oleh karena itu puasa disebut ‘ibaadah sirriyyah (ibadah yang bersifat rahasia). Rahasia antara seorang hamba dengan Allah. Sampai-sampai Allah Swt. mengatakan dalam sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar “Kulluu ‘amali ibnu aadama lahu illash-shiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi (setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya) (Hadist Riwayar Muslim dan Nasa’i). Kita merasakan bahwa apapun yang kita kerjakan maka Allah pasti akan mengetahuinya dan membalas setiap tetes kebajikan yang kita lakukan dan begitu juga sebaliknya.
Takwa merupakan puncak spiritualitas atau kedewasaan rohani. Mereka yang bertakwa jauh dari perbuatan keji dan mungkar. Terhindar dari kesombongan, dusta, curang, khianat, bakil, rakus, zalim, dan berbagai daftar sifat kerapuhan kepribadian lainnya. Muncul pertanyaan, kenapa banyak muslim di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya, sudah menjalankan ibadah puasa bahkan berpuluh kali, tapi masih bergelimang dosa dan bermandikan maksiat? Bahkan mendapatkan kenikmatan dengan kezaliman yang dia lakukan, kecurangan, kerakusan, dan pengkhianatan yang diperagakan, dan beragam perbuatan hina lainnya?
Jawabannya, antara lain, adalah karena puasa yang dilakukannya bahkan berkali-kali itu belum mampu menumbuhkembangkan spiritualitas dan mendewasakan rohaninya. Sehingga, puasa dan berbagai ibadah lain yang dijalankan belum mampu mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani orang yang berpuasa tersebut. Boleh jadi usia sudah dewasa, tetapi rohani masih balita.
Rasulullah telah mengingatkan kita: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar rasa lapar, dan betapa banyak orang yang menegakkan shalat malam, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar bergadang saja.” (HR. Ibnu Majah, An Nasa’i).
Kedua, ketika seseorang mencapai puncak spiritualitas atau kedewasaan rohani dalam arti kembali kepada kesucian (fitrah), maka kefitrian tersebut membawa dirinya untuk rindu bersilaturrahmi, merangkai kemaafan dengan keluarga dan handai taulan di kampung halaman, berbuat baik kepada tetangga dan ingin menjadi orang yang berarti bagi orang lain. Beberapa orang di antara para hamba Allah melalukan sebuah ritual yang bernama “mudik” pulang kampung. Di Aceh, juga kita dapati bahwa usai menjalankan shaum Ramadhan kebanyakan manusia bersilaturahmi dan saling berkunjung antar satu rumah dengan lainnya. Mereka sadar, bahwa meski dosa mereka terhadap Allah sudah dihapuskan melalui ritual ibadah ramadhan, namun kesalahan mereka antar sesama belum termaafkan sebelum mereka bersalaman atau saling tukar kunjungan. Inilah yang disebut dengan Hablun minallah wa hablun minannas.
Bagi kita yang masih memiliki orang tua, bersilaturahmilah kepada mereka. Buat mereka bahagia dengan berjumpa dan bertatap muka dengan mereka, masukkan embun kebahagian ke dalam jiwa mereka. Jadikanlah Ramadhan dan lebaran saat-saat mereka merasakan kenikmatan telah melahirkan dan membesarkan kita. Jangan pernah lupakan mereka sebab melupakan mereka merupakan kedurhakaan yang dapat mendatangkan murka Tuhan.
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, datanglah seorang pemuda yang mengadu kepada beliau tentang ayahnya yang suka mencuri harta milik sang anak. Rasul SAW berujar, “Panggillah ayahmu untuk menghadapku!” Sang pemuda menuruti perintah Rasul SAW. Ia pergi ke rumah meninggalkan beliau demi memanggil sang ayah untuk datang menghadap Rasul. Saat pemuda pergi untuk memanggil ayahnya, maka datanglah Jibril As menghampiri Rasulullah SAW. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, bila ayah pemuda itu datang maka tanyakanlah padanya apa yang telah ia ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telinganya!”
Beberapa saat kemudian, sang pemuda sungguh datang menghadap Rasulullah sambil membawa ayahnya. Sesampainya dihadapan Rasulullah SAW, beliau bertanya kepada ayah pemuda tadi, “Wahai bapak, anakmu mengadu bahwa engkau telah mencuri hartanya, apakah ini benar?” Maka sang ayah menjawab, “Ya Rasul, silakan tanya kepadanya telah aku apakan uangnya, apakah aku berikan kepada bibinya atau aku makan sendiri?”
Rasulullah SAW lalu menukas, “Izinkan aku untuk tidak membahas hal ini. Namun bolehkah aku tahu apa yang telah kau ucapkan dalam hati dan tidak terdengar oleh kedua telingamu?” Itulah pertanyaan yang disampaikan Jibril As kepada Rasulullah SAW untuk ditanyakan kepada ayah dari pemuda tadi. “Demi Allah, aku semakin percaya bahwa engkau adalah utusan Allah. Aku memang telah mengucapkan sesuatu dalam hati yang tiada terdengar oleh kedua telinga ini.” Lanjut sang ayah. “Sampaikanlah ucapanmu itu!” Rasulullah SAW mempersilakan. Tidak disangka, ayah pemuda tadi lalu membaca sebuah syair yang ia gubah untuk si pemuda; buah hati dan belahan jiwa ayahnya.
Saat engkau lahir, aku memberimu makanan
Saat kau beranjak besar, aku selalu setia menjagamu.
Engkau diberi minum atas jerih payahku
Jika kau sakit di malam hari, selama itu mataku tak terpejam
Tak bisa ku tidur karena memikirkan sakitmu
Hingga tubuhku limbung sebab kantuk yang menyerang
Seolah akulah yang sakit, bukan engkau wahai anakku
Aku meneteskan air mata sebab khawatir engkau akan mati
Padahal aku tahu bahwa ajal manusia telah digariskan
Saat engkau beranjak dewasa
Saat dimana telah pantas aku menggantungkan diri padamu
Kau balas diriku dengan kekerasan dan kekasaran
Seakan engkau adalah satu-satunya pemberi kebaikan padaku
Andai saja ketika tak dapat kau penuhi hakku sebagai ayah
Kau perlakukan aku tak ubahnya seperti seorang jiran yang hidup bertetangga
Usai mendengarkan syair tersebut, Rasulullah SAW menyeka air mata dari wajahnya, lalu menghardik sang anak dengan sabdanya, “Anta wa maaluka li abiika. Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Abu Daud & Ibnu Majah)
Boleh jadi ada orang di antara kita yang suka mensia-siakan orang tua. Ada waktu dari waktu-waktu yang telah Allah berika kepada kita, dimana kita telah menoreh luka dihati kedua orang tua kita. Hari ini, marilah kita bertaubat kepada Allah dan mohon ampun kepada kedua orang tua kita bila mereka masih hidup.
Pada satu hari Rasulullah bersabda: “Dari Ka’ab bin Ujrah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: Kumpullah ke dekat mimbar, maka kami berkumpul dekat mimbar. Ketika rasullullah naik ke anak tangga pertama, Rasulullah mengucapkan amin. Ketika Rasullullah naik ke anak tangga kedua, Rasulullah mengucapkan amin, Ketika rasullullah naik ke anak tangga ketiga, Rasulullah mengucapkan amin. Ketika Rasulullah turun dari mimbar, kami bertanya kepada Rasul: Ya Rasulullah, sungguh kami telah mendengar sesuatu dari kamu hari ini, yang mana kami belum pernah mendengarkannya? Berkata Rasulullah: Sesungguhnya malaikat Jibril telah mendatangiku, maka ia berkata: Celakalah orang yang mendapati Ramadhan, sedangkan ia tidak mendapat ampunan dari Allah, maka aku ucapkan Amin. Ketika aku menaiki anak tangga kedua, Jibril berkata: Celakalah orang yang menyebut namaku akan tetapi ia tidak mau bershalawat untuk-ku, maka aku ucapkan amin. Ketika aku menaiki anak tangga ketiga, Jibril berkata: Celakalah orang yang mendapati ibubapanya yang sudah tua atau salah seorang daripadanya, namun mereka tidak memasukkan dia ke dalam surga.” [HR Al-Hakim dan Sanadnya Sahih].
Ketiga, Allah mewajibkan kita untuk mengeluarkan zakat fitrah setelah menjalankan ibadah puasa. Seolah Allah SWT mengajarkan bahwa tidaklah disebut sempurna keimanan seorang hamba bila ia tidak mencintai saudaranya yang kesulitan. Bukanlah disebut orang yang saleh yaitu orang yang sibuk dengan ibadah semata. Tidak pantas dikenal sebagai orang beriman, mereka yang menutup mata tatkala mengetahui saudara-saudaranyanya berkekurangan. Sebab mencintai Allah dapat tercermin dari cinta kita kepada sesama.
Abu Said Abul Khayr dikenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, “Sejak dahulu katak dapat melakukannya!” Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, “Lalat dapat melakukannya lebih baik.” Muridnya bertanya, “Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?” Ia menjawab, “Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam hati mereka.” Itulah salah satu cara yang efektif untuk melakukan taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Swt. Yaitu dengan cara membantu para hamba Allah dan peduli terhadap sesama.
Rasulullah bersabda:
”Demi Allah tidak beriman (diulangi sampai 3 kali). Sahabat bertanya, siapa itu ya Rasulallah? Sabda beliau, orang yang tidak menjaga saudaranya dari perbuatan dirinya yang mengganggu” (Riwayat Muslim)
”Tidak termasuk golongan kami orang yang tertidur lelap karena kenyang sedang saudaranya lapar, padahal ia mengetahuinya” (Riwayat Thabrani)
”Orang muslim itu adalah orang yang menjaga keselamatan masyarakat dari gangguan mulut dan tangannya” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Inilah keterkaitan yang sangat kuat antara taqwa dengan kesalehan sosial yang dilahirkan Ramadhan. Ketaqwaan selalunya harus melahirkan manusia-manusai yang bermanfaat bagi orang lain. Kesalehan sosial yang timbul tanpa nilai ketaqwaan tidak akan berarti apa-apa disisi Allah SWT. Allah mengatakan An Nahl 97:
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97)
Sebuah keshalihan sosial baru mempunyai makna disisi Allah apabila dirangkai dengan nilai-nilai keimanan kepada Allah. Kebaikan yang disadari bahwa ini adalah perintah dari Allah. Kebaikan yang hanya didedikasikan untuk mengharap balasan dari Allah. Kalau kebaikan sosial dilakukan tidak dilandasi ruh keimanan, kebaikan dilakukan untuk mengharapkan pujian dari manusia, mengharap dukungan dan pilihan-pilihan politik maka kebaikan yang dilakukan tidak akan membawa pelakunya kepada kehidupan yang tenang, baik dan mensejahterakan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah SWT.
Dalam wawasan dan kesadaran sosial ”taqwal arham” (ketaqwaan sosial), kepedulian yang diberikan sesungguhnya merupakan alat untuk menolong kita sendiri di saat membutuhkan pertolongan. Saudaraku, manakala kita dalam kondisi sehat tapi di sana ada yang sakit, artinya Allah memberi kesempatan bagi kita yang sehat untuk menolong yang sakit. Pada waktu kita diselamatkan Allah dari bencana sementara banyak saudara kita yang kena, ini artinya kesempatan/peluang bagi yang selamat untuk membantu yang kena bencana dengan apa yang mereka butuhkan. Sungguh kepedulian yang diberikan merupakan alat untuk menolong kita sendiri di saat membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw bersabda: ”Hanyasanya kamu ditolong dan diberi rezeki dengan kepedulianmu terhadap kaum dhu’afa di antaramu” (Riwayat Bukhari)
Rasulullah juga bersabda: “Barang siapa melepaskan seorang mu’min dari bencana di dunia maka Allah niscaya melepaskannya dari bencana di akhirat, Allah senantiasa menolong hambaNya manakala ia mau menolong saudara/sesamanya” (Riwayat Muslim). Itu manfaat yang kembali ke diri kita. Allah akan bersama kita, Allah akan sayang kepada kita. Memaknai puasa sebagai bagian dari ritual spiritualitas umat Muslim tidak hanya terfokus pada kepentingan individu. Puasa tidak hanya sebagai momen memperkuat hubungan transendensi namun di balik hadirnya bulan puasa adalah terkandungnya nilai-nilai sosial terhadap sesama yang harus kita tumbuhkan dan dipelihara untuk terwujudnya keadilan sosial.
Puasa memberikan pelajaran penting pada kita agar mengetahui bagaimana kehidupan orang-orang yang lemah (mustad-afin). Memupuk sikap empati terhadap orang yang miskin dan lemah agar kita mengetahui dan ikut merasakan kondisi tekanan hidup mereka. Sehingga puasa mengajarkan akan rasa syukur atas kelebihan yang kita miliki untuk berbagi dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan. Maka Islam menyuruh kita untuk bershadaqah, zakat, infaq bukan hanya di bulan suci ramadhan saja, tapi juga diluar dari bulan puasa. Karena saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita tidak hidup hanya di bulan Ramadhan tapi juga hidup di sebelas bulan lainnya.
Marilah sama kita bertekad dan berjanji untuk menjadi hamba Allah yang lebih baik. Memperbaiki kualitas ibadah kita kepadaNya dan menjadi manusia yang lebih berarti dan bermakna untuk sesama. Semoga Allah Swt memberkahi hidup kita dunia dan akhirat. Amien