WAWASAN SPIRITUAL KEBENCANAAN
Dr. Tgk. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M
Gema Jum’at, 16 Desember 2016
Oleh : Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M
Sejak akhir tahun 2004, nyaris berbagai ujian dan cobaan melanda Aceh. Mulai dari bencana tsunami yang menelan ratusan ribu jiwa, gempa dan tanah longsor di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, banjir bandang di Aceh Singkil sampai yang terakhir gempa berkekuatan 6,5 skala richter meratakan Kabupaten Pidie Jaya. Semuanya adalah musibah yang harus disikapi dengan sabar, tabah, dan lapang dada.
Apabila terjadi musibah itu peringatan dari Allah untuk kita kembali kepada Allah. Dalam al-Qur’an setidaknya terdapat tiga terminologi yang berkaitan dengan bencana, yaitu: musibah, bala’ dan azab. Sedangkan fitnah merupakan bagian dari musibah itu sendiri. Semua bencana yang menimpa orang kafir dinamakan dengan azab. Seperti banjir Nabi Nuh, yang selamat dari bencana tersebut hanya orang beriman yang mengikuti ajaran Nabi Nuh. Kaum Nabi Luth hancur tapi orang yang shaleh selamat. Nabi Shaleh yang ditimpa wabah penyakit yang mengerikan, tetapi anehnya, orang yang beriman walaupun rumahnya bersebelahan tidak terkena wabah penyakit tersebut, sedangkan orang kafir dimusnahkan oleh penyakit yang mengerikan. Pasukan Abraha hancur lebur karena diazab Allah dengan batu yang dilontarkan oleh burung Ababil tetapi tempat di sekitarnya tidak mengalami apa-apa. Adalagi wabah semua yang memakan daging unta Nabi Shaleh dan Nabi Syuaib semuanya kena virus, tapi yang tidak makan tidak kena virus. Jadi, memang azab itu ditujukan kepada orang-orang yang memang durhaka dan kufur kepada Allah Swt.
Adapun musibah, itu lebih bersifat ujian untuk menguji ketebalan iman umat Islam. Tapi musibah itu tingkatnya lebih massif, karena musibah tidak memandang agama, bangsa, bahasa, warna kulit dan jenis kelamin apapun. Oleh sebab itu, di dalam Q.S, 2:155-156 Allah menerangkan bahwasanya musibah yang mengambil bentuk dalam rasa takut (al-khauf), lapar (al-jauw’), krisis finansial (al-amwal), krisis jiwa (al-anfus) dan krisis pangan (al-tsamarat) merupakan bentuk ujian (wa labluwannakum) dari Allah Swt. Sedangkan bala’ itu lebih bersifat individual dan mekanikal sifatnya. Misalnya Allah Swt memberikan ujian individual kepada Nabi untuk menyembelih puteranya Ismail yang dengan ujian itu secara mekanikal bertujuan meningkatkan kualitas spiritual Nabi Ibrahim. Karena itulah di dalam Q.S, 37:106 Allah menyebut ujian tersebut dengan “al-bala’ al-mubin” (ujian individual yang berat) Yang terjadi di Aceh secara beruntun termasuk yang mana?
Menurut hemat penulis bencana yang menimpa Aceh secara bertubi-tubi ini termasuk dalam kategori musibah. Karena itu yang ditimpa bukan hanya yang beriman saja, di situ ada yang durhaka, pendosa dan juga menimpa kepada mereka yang beriman. Kalau musibah itu unsur-unsur dimensinya lebih bersifat positif sedangkan azab agak negatif. Sehingga bencana yang terjadi di Aceh bukan azab tetapi musibah. Hal ini didukung dengan doa Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi, ada tiga permohonan Nabi SAW yang dua diantaranya diterima. Satu diantara yang diterima itu ialah “Ya Allah, janganlah Engkau menimpakan azab kepada umatku sebagaimana azab yang Engkau timpakan kepada umat-umat terdahulu.” Kombinasi antara pemahaman al-Quran dan hadis ini dapat disimpulkan bahwa yang kita alami sekarang ini tak lain adalah musibah. Jadi, bukan kutukan, laknat, azab seperti yang pernah ditimpakan kepada umat nabi-nabi terdahulu. Jadi, yang terjadi sekarang ini adalah peristiwa biasa, peristiwa alamiah dan itu juga mungkin disebabkan kecerobohan manusia itu sendiri. Dalam hal ini Allah berfirman, “wa ma ashabakum min mushibatin fabima kasabat aidikum” (musibah yang menimpamu terkadang berasal dari ulah tanganmu).
Musibah harus dianggap sebagai peristiwa alamiah biasa. Datang kapan saja, di mana saja, tanpa harus kita mempercayai dan melakukan hal-hal yang berbau mistik atau mitos. Artinya, jangan sampai kita memitoskan musibah? Itu salah satu unsurnya pertama, bagaimana meningkatkan wawasan kita terhadap makna sebuah musibah. Kedua, menganggap musibah itu bukan azab. Ketiga, bagaimana supaya kita jangan memitoskan musibah itu sendiri karena itu bisa merusak akidah. Keempat, musibah itu justru punya konotasi positif yaitu untuk melunasi dosa kita di akhirat kelak. Ada hadis Nabi Saw yang berbunyi, “ma yushibul muslima min nashabin wa la nashabin wa la hammin wa la hazanin wa la adza wa la ghammin hatta syawkatin yushakuha illa kaffarallhu biha min khathayahu” (tidak ditimpakan suatu musibah baik penyakit, letih, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, kesusahan bahkan sampai duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus dosa-dasanya). Dalam hadis lain dinyatakan, “Apabila Allah berkehendak positif terhadap hamba-Nya maka dia mendatangkan yaitu siksaan-Nya di dunia. Tapi apabila Allah berkehendak negatif terhadap hamba-Nya maka dia menunda siksaannya nanti di akhirat yaitu di neraka Jahanam yang amat dahsyat.” Jadi, musibah harus dimaknai sebagai pertama, pencuci dosa masa lampau. Kedua, pembelajaran buat kita supaya langkah-langkah kita ke depan jangan mengulangi yang salah yang jatuh di lubang yang sama. Ketiga, penghayatan, pendalaman, pemahaman, terhadap musibah sangat penting agar masyarakat kita kalau menghadapi musibah apapun dia bisa menghadapi dengan lega dan tidak mudah putus asa.
Semoga khutbah singkat ini ada manfaatnya, kepada Allah khatib berserah diri, kepada-Nya dipersembahkan bakti dan kepada-Nya pula khatib memohon ampunan, taufiq, hidayah dan perlindungan. Wallahu a‘lam bi al-haqiqah wa al-shawab.