16 Tahun Prof Safwan Mutiara Darussalam itu tetap Bersinar
Gema JUMAT, 23 SEPTEMBER 2016
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Q.s. al-Baqarah: 154)
Terasa ada beban saat penulis menulis kembali tentang ayahanda almarhum Prof. Dr. Safwan Idris, MA. Kuatir apa yang ditulis hanya meredupkan sinar Sang Mutiara Darussalam.
Tanggal 16 September 2000 merupakan kisah kelam bagi dunia pendidikan dan prikemanusiaan di Aceh. Safwan Idris, saat itu adalah Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) -kini Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, sekitar pukul 06.40 Wib menerima kedatangan dua orang tamu. Belum lama tamu masuk, terdengar letusan tembakan. Pelaku kabur dengan sepeda motor yang parkir di halaman rumah. Safwan Idris tersungkur bersimbah darah dibawa ke rumah sakit namun, nyawa tak terselamatkan. Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.
Dengan cepat kabar duka di Darussalam menyebar. Lautan manusia turut mengantar almarhum ke peristirahatan terakhir. Aceh menangis dan kehilangan tokoh panutan yang melekat padanya; ulama, ilmuwan yang bersikap tawadlu, sederhana, bersahabat dan ramah dengan lapisan bawah sekali pun.
Sebagai pimpinan IAIN Ar-Raniry, Safwan yang berwajah meneduhkan sulit menemukan banding. Penggantinya, Rusydi Ali Muhammad, menyebutkan, Saya bukanlah rektor, melainkan pengganti Safwan Idris.
16 tahun sejarah hitam itu berlalu. Namun, sampai saat ini belum ada pihak mana pun yang mencoba dan serius mengungkap kasus ini. Siapa pelaku, atas perintah siapa dan apa motif menghabisi nyawanya hanya sebebatas menduga-duga.
Rakyat hanya berspekulasi, pelakunya pasti GAM, TNI/Polri atau pun provokator.
Ayah Muni, saat itu pimpinan GAM Aceh Rayeuk menyatakan, pelaku bukanlah dari pihaknya. “Kami sangat berduka, karena ulama bangsa Aceh terus dibantai,” kata Ayah Muni
Demikian halnya TNI/Polri, meyakinkan tidaklah mungkin berbuat keji begitu. Maka, sosok provokator atau orang tak dikenal adalah pihak yang paling mudah dituding sebagai aktor dan pelaku eksekusi. Terlebih, provokator tidak membantah tuduhan yang mengarah padanya.
Menyikapi konflik aceh, suami dari Hj. Alawiyah ini bersikap netral, tidak berpihak kepada GAM maupun TNI/Polri. Kerabat, mahasiswa dan masyarakat umum menjamin dia tidak terseret dalam konflik.
Sebagai sumbangsihnya untuk penyelesaian kemelut Aceh, Safwan dengan beberapa ulama aceh serta dosen IAIN AR-Raniry mendirikan Forum Aksi Ulama Aceh (FAUA). Forum ini aktif mengkaji, diskusi dan mencari solusi agar konflik tidak berlarut.
Beredar rumor di tengah-tengah masyarakat, syahidnya pria kelahiran 5 september 1949 di Siem Darussalam, Aceh Besar, disebabkan Safwan ketika itu punya minat untuk maju sebagai calon gubernur Aceh.
Akan tetapi, Safwan bukanlah seorang politisi, dia murni sebagai seorang ilmuan dan intelektual. Ada ungkapan Safwan ketika itu yang dipublis disebuah koran lokal. “Lebih terhormat menjadi ratu di hati rakyat, meski tak pernah menjadi ratu secara formil,” tulis sebuah media menjelang musim Pilkada Tahun 2000. Apakah saya pantas untuk jabatan itu? Jawabnya balik bila ada yang mendorongnya menjadi kandidat memimpin Aceh.
Cukuplah bagi Alumnus University of Wiconsin Medison AS tahun 1977 ini, mewujudkan IAIN Ar-Raniry sebagai the centre of excellent. Safwan berkeinginan IAIN Ar-Raniry yang dipimpinnya sejak 1996 menjadi lembaga pendidikan tinggi yang bersih dan melahirkan intelektual terhormat, sesuai mottonya, moralitas, intelektualitas dan silaturahmi.
Kini, walau 16 tahun tragedi ini berlalu, namun Mutiara Darussalam ini tetap bersinar. Walau kabut tebal masih menutupi misteri kepergian syuhada, terasa jiwanya masih ada di tengah orang-orang yang mengupayakan kasus ini terungkap termasuk pada tokoh-tokoh lain, Prof. Dr. Dayan Dawood, Teuku Djohan, dll yang menjadi korban ekses pertikaian. NA RIYA ISON