Belajar Damai di Ruang Memorial Senjata Bukan Tanda Damai
Gema JUMAT, 14 Agustus 2015 Kubah
Ada sebuah untaian kata yang menarik sesaat memasuki Ruang Memorial Perdamaian yang terletak di komplek perkantoran Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Linmas Aceh). Tulisan itu, “Senjata bukan tanda damai” terletak di atas dua buah foto yang menggambarkan pekerja asing tengah mengaktifkan mesin potong. Tentu saja bukan giok Aceh yang tengah dicincang mesin potong tersebut. Karena terlihat jelas, pistol atau senjata laras panjanglah yang tengah dipotong menjadi 2 atau 3 bagian. Pemusnahan sebanyak 847 senjata aktif yang dilakukan serentak di seluruh Aceh dilakukan pada 21 Desember 2005.
Ruangan eks Bidang Politik Pemerintahan dan Keamanan Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh berukuran 10 x 12 meter yang dijadikan museum mini edukasi terhadap rangkaian terjadinya knflik danperdamaian Aceh tersebut juga memajang puluhan foto lainnya. Kesemuanya menggambarkan suasana pilu semasa Tanah Rencong ditetapkan sebagai Operasi Jaring Merah, kemudian dialihkan Masa Darurat Militer, sebelum kesemua pertikaian konflik bersenjata itu diselesaikan melalui Mou Helsinki pada 15 Agustus 2005, tepat sepuluh tahun lalu.
Tergambar jelas, betapa “meruginya” semua pihak yang terlibat dalam pertikaian. Kerugian tidak saja memusnahkan harta benda, namun juga korban jiwa tak terkecuali putra terbaik bangsa seperti Prof. Dr. Safwan Idris, MA (Rektor IAIN Ar-Raniry), Prof. Dr. Dayan Dawood, MA, (Rektor unsyiah) dan Brigjen (Purn.) Teuku Johan. Ketiga tokoh ini tewas diterjang peluru yang tak mengenal santunnya korban. Masih banyak korban lain baik jasadnya ditemukan atau pun dinyatakan hilang akibat penyelesaian konflik dengan kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah.
Artefak lain yang juga langsung menggiring pengunjung adalah sumbangan dari Kodam IM berupa cincangan lima senjata berupa senapan AK 15, senapan AK 56, senapan sabhara V2, pistol P1 serta pistol AS. Selain itu 2 buah granat nenas yang tak aktif lagi turut mengisi ruang kaca berukuran besar itu. Kamis siang (13/8), penulis ditemani kurator Wiramatdinata, SH, MH. dan Muhammad Mardian, SH untuk memaknai akan alat peraga, film dokumenter dan artefak lainnya. Ibarat pepatah Aceh, pat ujeun nyan hana pirang, tak ada hujan yang tak akan reda. Demikian makna yang dicerna dari pajangan gambar lainnya.
Masa cerah mulai menaungi Bumi Serambi Mekkah. Karena, menghentikan permusuhan dengan jalan musyawarah gencar dilakukan. Mulai tahun 2000 beberapa kali digelar upaya damai dengan melibatkan juru damai dari negara lain, walau kandas tapi telah menjadi modal berharga menggapai damai sejati.
Puncaknya, pada 15 Agustus 2005, kesepakatan damai antara RI-GAM benar-benar terwujud melalui Mou Helsinki. Di ibukota Finlandia itu Delegasi GAM adalah Malik Mahmud (Perdana Menteri GAM, kini Pemangku Wali Nanggroe), Zaini Abdullah (Menlu dan Menkes, kini Gubernur Aceh), Bakhtiar Abdullah (jubir), dan lainnya duduk dalam satu meja bersama Hamid Awaluddin (Menkumham) bersama Sofyan Djalil (Menkominfo), dan lainnya yang mewakili RI menandatangani perjanjian damai. Kesemua anak bangsa itu sepakat mengakhiri permusuhan dan membangun Aceh setelah hancur disebabkan konflik berkepanjangan dan musibah gempatsunami pada akhir 2004.
Museum mini yang didirikan di dalam kantor Badan Kesbangpol dan Linmas di kawasan Kuta Alam Banda Aceh itu digagas oleh Nasir Zalba, Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh. Diharapkan Aceh memiliki kontriusi bagi siapa pun yang ingin belajar dengan cara bermartabat bagi negeri yang dilanda sengketa sesama anak bangsa. Walau berukuran kecil dengan isi tidak seberapa, diharapkan mampu berkontribusi sebagai tempat pembelajaran dan media renungan indahnya bersegera dalam damai. Penyelesaian masalah dengan kekerasan hanya menimbulkan korban tidak saja pihak bertikai, namun rakyat sipil dan insan tak bersalah memiliki potensi menjadi korban.
Museum damai tersebut tentu saja tidak banyak membawa dampak berlebihan dalam mempertahankan kenyamanan berkehidupan di Serambi Mekkah. Karenanya Nasir Zalba beserta terus saja menggiring damai terhadap lintas generasi, khususnya generasi muda. Pada, 10-11 Agustus lalu, sebanyak 100 siswa dari 20 sekolah setingkat SMA mendapatkan bimbingan acara renungan dan edukasi perdamaian Aceh. Acara yang diadakan di Ruang Memorial Perdamaian itu dihadiri Paduka yang Mulia Malik Mahmud Al Haytar, Pemangku Wali Nanggroe. Direncanakan kegiatan ini akan dilanjutkan dengan tujuan percepatan dalam memberikan pemahaman tidak saja menggapai damai, tetapi juga bagaimana memelihara damai dengan berkeadilan dan kesejahteraan semua warga. (NA RIYA ISON)
Belajar