Haji Mabrur dan Tranformasi Sosial
Gema JUMAT, 16 SEPTEMBER 2016
“Labaik Allahuma Labbaik.” Kesempatan emas menjadi tamu Allah SWT haruslah dijalankan dengan kesungguhan . “Barang siapa mengerjakan haji kemudian ia tidka berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia kembali bersih seperti saat dilahirkan ibunya. (HR Bukhari dan Muslim).
Sekarang, bagi orang yang mampu menunaikan ibadah harus mengeluarkan biaya kalau dikurs mata uang Saudi Arabia yang sekitar 2.800 real (3500 U$) atau dalam mata uang rupiah (sekarang sekitar 30 juta lebih). Belum lagi mereka harus mengeluarkan biaya tasyakuran, pamit-pamit kepada tetangga serta nantinya akan menentang barang bawaan yang tidak sedikit.
Lalu setelah menunaikan ibadah itu ingin memperoleh predikat “Haji Mabrur” yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dan kemuliaan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda,”al-hajju mabruru laisa lahu jazaan illal Janah,” Haji yang mabrur itu tiada balasannya tiada lain surga. Dalam konteks riwayat hadits tentang kemabrurah Haji, Nabi SAW ditanya oleh seorang sahabat,”wama birul hajj ya Rasulullah SAW? Apa sebenarnya kebaikan haji itu wahai Rasul Allah?”
Rasulullah SAW bukannya menjawab dengan menyebut ritual-ritualnya, seperti Thawaf, Sa’i, Wuquf di Arafah, Tahalull dan lain sebagainya. Nabi SAW malah menjawab ada tiga hal kebaikan haji yang lebih banyak berkaitan dengan hubungan baik sesama jama’ah atau bisa juga kita artikan tiga hal ini sebagai haji mabrur.
Pertama, tiybul kalam (ucapan yang baik). Kedua, it’amut tha’am (memberi makan, laman) dan ketiga : Ifsyaus Salam (menebarkan salam. Dari ketiga hal ini, kita dapat memahami ternyata seorang yang mabrur hajinya tidak hanya memilki kekhuyu’an yang total kepada Allah SWT. Tapi dia juga mampu mengontrol lisannya untuk berkata kecuali hal-hal yang baik, memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama, sekaligus senantiasa menebarkan salam yang juga berarti kedamaian yang pasif juga kedamaian aktif.
Imam al-Hasan RA pernah ditanya apakah sebenarnya haji mabrur? Jawabnya yaitu jika engkau telah pulang, kamu menjadi orang yang yang zahid (tidak terbelenggu dalam cinta dunia) dan bersemangat untuk mencapai kebahagiaan abadi di akhirat. Zuhud tidak berarti anti materi, tapi kesanggupan rohani untuk mengalahkan ambisi pribadi, keserakahan kepemilikan benda, serta kebanggaan eksistensial.
Ibadah sosial
Mengapa Nabi Muhammad SAW beribadah haji satu kali saja, padahal beliau mempunyai banyak kesempatan beribadah haji sampai tiga kali. Beliau mempunyai kesempatan puluhan bahkan bisa ratusan kali. Bandingkan dengan selera kaum muslimin sekarang yang apabila punya dana ingin beribadah haji setiap tahun serta beribadah umrah seiap bulan atau setiap minggu. Bahkan, selera ini sudah menjadi gejala bagi sebagian besar umat Islam di mana saja mereka berada.
Tiga hal menyebabkan Nabi SAW memprioritaskan ibadah sosial (ibadah muta’addiyah) dibanding ibadah individu (ibadah qasirah). Nabi tidak pernah beribadah haji sunnah, tidak pernah umrah pada bulan ramadhan, kendati kesempatan sangat banyak. Nabi SAW hanya beribadah sunnah umrah dua kali saja. Sungguh sangat kontras dengan sebagian perilaku ummat Islam Islam saat ini yang bergelimbang harta.
Menurut peneliti dari Damaskus (Syiria), Prof Dr Alaudin al Za’tari, saat ini ada sekitar 830 juta ummat manusia di bawah garis kemiskinan, 700 juta diantaranya adalah orang Islam. Menurutnya kondisi tersebut pantaskah seorang muslim yang kaya tiap tahun beribadah haji? Pantaskah seorang muslim bolak balik umrah, sementara saudara-saudara kita sesama muslim harus masih menungu entah berapa tahun lagi akan berangkat haji memenuhi panggilan Allah SWT. Siapakah yang menyuruh mereka begitu? Ayat Al-Qur’an dan hadits manakah yang menyuruh bolak-balik umrah, sementara kaum muslimin sedang kelaparan.Ternyata tidak dapat kita temukan ayat maupun hadist yang menguatkan hal itu.
Sebab Nabi berhaji cukup sekali, berinfak ribuan kali. Nabi SAW lebih mengutamakan ibadah sosial dari pada ibadah individual. Sekiranya ibadah individual itu lebih utama daripada ibadah sosial, tentu Nabi Muhammad SAW sudah pergi haji berulang kali daripada menyantuni anak yatim.
Haji memang potensial untuk memicu transformasi sosial. Berhaji tidak hanya mempertebal ketaqwaan dan keimanan, tetapi juga memberi kesempatan pada jamaah untuk melakukan studi banding. Haji mendorong untuk menerapkannya sekembali dari tanah suci, orang pun termotivasi untuk melakukan transformasi sosial di daerahnya, mengubah alam maksiat menuju alam ketaatan, dari alam penindasan menuju alam keadilan dari alam kegelapan menuju alam terang benderang. Nelly/dbs