Memahami Makna Jihad
Gema JUMAT, 11 NOVEMBER 2016
Jihad dalam syariat Islam bermakna berjuang dengan sungguh-sungguh. Islam mengajarkan umatnya untuk berjihad, supaya agama Allah tetap tegak dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Pimpinan Dayah Baitul Arqam, Sibreh, Aceh Besar, Teuku Azhar Ibrahim mengatakan, jihad mencakup makna yang luas. Seperti jihad ekonomi, memperbaiki
diri, memperkokoh persatuan, dan mendirikan fasilitas umum. “Saat ini jihad selalu dianggap negatif,” ujarnya, Rabu (9/11) di Banda Aceh.
Ia mempertanyakan kenapa jihad dalam berkehidupan sosial tidak sesemangat orang berjihad dalam berperang. Jihad pada perang dengan Belanda berbeda dengan konteks jihad sekarang. Sayangnya, kata jihad dipahami negatif. Ketakutan terhadap jihad dibentuk oleh media Barat. Mereka menggambarkan orang muslim berpeci serta berjenggot dilabelkan sebagai teroris. Kalau terjadi ledakan bom, pelaku diduga
berasal dari muslim dianggap sebagai aksi teroris. Beda halnya jika pelakunya non muslim.
Di luar Aceh, orang yang menjalankan syariat Islam juga dianggap sebagai teroris, lanjut Azhar. Sulit sekali mengubah pandangan orang terhadap jihad. Bahkan orang muslim sendiri masih menganggap tabu tema ini.
Jihad ekonomi
Ketua Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) Aceh, Putra Chamsah, mengatakan Allah menciptakan makhluk hidup untuk menyembah-Nya. Seperti melaksanakan salat, puasa, dan zakat. Allah juga mengatur manusia dalam hal bermuamalat. Sebagai
seorang muslim, sepatutnya meneladani cara Nabi Muhammad bermuamalah.
Nabi mengajak umatnya saling membantu. Dari segi ekonomi, bantuan bisa diberikan
dengan cara membeli produk milik orang muslim. Sifat jihad dalam ekonomi berarti membela produk buatan anak negeri.
Dulu, nabi meminta para sahabat membuat pasar yang dikelola orang Islam. Makanan
yang diperjualbelikan di pasar itu berasal dari orang shalih. Sehingga makanannya terjamin.
Ia berharap, pemerintah berjihad memperbaiki ekonomi Aceh. Pemerintah harus mendukung pengusaha dalam mengembangkan serta memasarkan produknya.
“Mari mengurangi konsumsi produk luar dan meningkatkan produk anak Aceh,” katanya.
Putra menerangkan kondisi ekonomi Aceh semakin terpuruk. Hal ini disebabkan oleh produksi makanan masih tergantung pada pihak luar seperti telur, beras, sabun, dan sebagainya. Akibatnya banyak uang Aceh terserap ke luat daerah. Padahal, banyak sekali potensi dan kreatifi tas pengusaha di Aceh, tapi usahanya bangkrut karena tidak ada pembeli.
Oleh karena itu, dia meminta masyarakat lebih peduli dan mencintai produk anak pribumi. Walaupun jika harganya sedikit di atas harga produk luar, belilah produk tersebut. Disinilah dibutuhkan persatuan dan kesatuan umat Islam. Disnilah semangat
jihad ekonomi kita tunjukkan.
Selama ini, kata Putra, orang Islam lebih ingin memakmurkan pengusaha muslim daripada non muslim, atau pengusaha luar Aceh.
Misalnya air mineral kemasan. Banyak produk air kemasan di Aceh yang berkualitas, harganya pun sama dengan produk luar. Tapi kondisinya tidak berkembang.
Menurutnya, jika perekonomian masih dimonopoli oleh pihak luar, sampai kapanpun
Aceh tidak akan maju. Pihak luar bisa menekan situasi politik melalui perkembangan ekonomi Aceh yang belum mandiri.
Dia menambahkan, dalam satu atau dua hari mengurangi konsumsi produk luar, manfaatnya akan terasa. Peredaran uang di Aceh semakin merata. “Pemimpin
wajib berjihad memajukan perekonomian Aceh,” tuturnya. Selain itu, ekonomi Aceh masih sangat tergantung dengan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA).
Peredaran uang masih ditentukan oleh APBA. Hal ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan peredaran uang di Aceh. Seharusnya, pemerintahan harus membuat pemetaan ekonomi, mempermudah izin pengusaha di Aceh, serta mendukung pengembangan produksi sepuluh kebutuhan pokok. Zulfurqan