Enam Jam di Afghanistan
GEMA JUMAT, 02 FEBRUARI 2018
Enam jam Jokowi di Kabul sangat menegangkan bagi pengawal dan rombongan. Pasalanya beberapa hari sebelum mendarat di negari perang ini, bom bunuh diri dengan menggunakan mobil ambulan meledak di Kabul
Afghanistan yang menewaskan lebih dari 100 jiwa. Ketika itu, Jokowi menerima saran agar menuunda kunjungan ke
sana dengan alasan keamanan. Namun mantan karyawan di PT KKA Aceh ini tetap terbang ke sana dan tidak memakai rompi anti peluru. Ini memberi pesan dan kesan bahwa Jokowi merasa aman ke negara penuh konfl ik ini. Kita ingat ketika Presiden Gus Dur ke Banda Aceh dan berpidato di Masjid Raya Baiturrahman yang menyatakan dirinya memakai rompi anti peluru karena disarankan oleh pasukan pengawal presiden.
Kegigihan Jokowi terbang ke Negara dalam konfl ik ini mengingatkan kita pada pada 1995, Presiden Soeharto ke Bosnis yang tengah dilanda perang. PBB membolehkan Seoharto ke Bosnia setelah teken pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggungjawab jika terjadi apa-apa terhadap Soeharto yang menolak memakai helm baja dan rompi anti peluru seberat 12 kg. Soeharto pun bertemu Presiden Bosnia Herzegovina.
Kunjungan Soeharto dan Jokowi ke negara yang rakyatnya muslim adalah salah satu bentuk moril bahwa mereka tidak sendiri dalam melawan kezaliman atau merintis perdamaian di Afghanistan. Jokowi adalah Presiden Indonesia kedua yang mengunjungi Afghanistan dan presiden pertama Indonesia yang ke Afghanistan ketika negara itu dalam kondisi ancaman keamanan ekstrim.
Dalam tayangan televisi, kita saksikan kehangatan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani yang meminta Indonesia menjadi mediator dalam konfl ik yang terjadi di negerinya. Konfl ik di Afhanistan sudah puluhan tahun. Pembunuhan atau kekerasan terjadi setiap hari. warga sipil pun merengut nyawa. Mereka saling membunuh karena karena perbedaan suku, mazhab beragama, dan kepentingan politik. Menjalarnya paham radikal dari luar Afghanistan membuat masalah menjadi lebih rumit dan pertentangan lebih tajam.
Pemerintah Afghanistan berusaha menyelesaikan konfl ik di dalam negeri. Mereka mengirim delegasi Afghanistan yang dipimpin Deputy High Peace Council Afghanistan, Habiba Sarabi, mengunjungi Aceh antara lain bertemu dengan mantan Juru Runding GAM membahas pengalaman Aceh menyelesaikan konfl ik dengan Indonesia pada November 2017.
Habiba mengatakan, bahwa pihaknya ke Aceh untuk melihat pengalaman yang dialami masyarakat Tanah Rencong selama konfl ik. Menurutnya, terdapat banyak kesamaan antara konfl ik yang terjadi di Afganistan dengan yang terjadi di Bumi Serambi Mekkah.
“Kami ingin melihat apakah bisa dimanfaatkan untuk mengatasi konfl ik di Afghanistan,” kata Habiba.
Menurutnya, konflik di Afghanistan sudah berlangsung selama 40 tahun. Pengalaman Aceh menyelesaikan konflik akan digunakan untuk menyelesaikan konflik di sana. Konfl ik GAM dengan Indonesia selama 30 tahun. Konfl ik di Afghanistan melibatkan beberapa actor atau kelompok. Beberapa di antaranya sudah ada yang dapat diajak berdiskusi membahas perdamaian.
Namun, masih ada kelompok lain yang bersikeras tidak ingin ada perdamaian. “Mereka masih mencari jalan agar kelompok tersebut dapat diajak masuk ke dalam (proses perdamaian). Ini yang mereka ingin belajar di Aceh dari pada proses negosiasi di Aceh,” ungkap Habiba.
Pertumpuhan darah itu membuat umat menderita. Tidak ada artinya samasama meneriakan Allah Akbar di masjid lalu sama-sama saling membunuh di luar masjid atau bahkan dalam masjid karena berbeda mazhab. Sungguh ini peristiwa yang menakutkan dan harus didamaikan.
Rasulullah bersabda, “Apakah kalian mau jika aku beritahukan kepada kalian tentang perbuatan yang paling baik dari puasa, shalat dan shadaqah?. Mereka menjawab: Mau wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Yaitu mendamaikan pertikaian antara sesama muslim, sesungguhnya rusaknya hubungan antara sesama muslim adalah sebagai pemangkas, aku tidak mengatakan memangkas rambut namun dia bisa memangkas agama.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi). Murizal Hamzah