Hukuman Mati dalam Pandangan Islam
Gema JUMAT, 12 AGUSTUS 2016
Oleh Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA
Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Fiqh Siyasah pada Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry
Perkataan hukuman mati bisa saja membuat orang sedih mendengarnya, bisa juga membuat orang senang dengannya. Terserah kepada siapa yang mendengarnya dan bagaimana diartikan dan dipahami perkataan tersebut. Bagi para pegiat Hak Azasi Manusia (HAM) sudah barang tentu sangat alergi dengan perkataan hukuman mati, sementara bagi penganut agama Islam fanatik sangat senang dengannya manakala berkaitan dengan hukum qishash dan hudud. Oleh karena itu, sangat perlu diketahui orang banyak bagaimana kedudukan hukuman mati dalam pandangan Islam, sehingga tidak ada ummat Islam yang memasukkan bola ke dalam gawang sendiri berkenaan dengan membela HAM dan menghina hukum Islam dengan dalih apapun jua.
Selama ini banyak ummat Islam yang menentang hukum hudud dalam bingkai hukum pidana Islam dengan alasan bertentangan dengan HAM, padahal HAM tersebut diciptakan oleh manusia yang didominasi non muslim, sementara hukum hudud adalah hukuman dari Allah dan Rasul-Nya. Agar ada perbandingan dan muncul penilaian objektif dari semua pihak, maka dianjurkan kepada setiap muslim memahami kandungan hukum pidana Islam yang terdiri minimal dari qishash, hudud dan ta’zir.
Dalil hukuman mati
Dalam Islam ada dalil-dalail yang mengatur eksekusi mati terhadap orang-orang tertentu yang terjerat dengan hukuman qishash dan hudud dan dalam kasus-kasus tertentu termasuk hukuman ta’zir. Dalil-dalil tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber hukum pertama dan utama dalam Islam. Tiada seorangpun yang boleh dan berhak melawan dalil-dalil tersebut melainkan ia akan masuk neraka di hari nanti. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS Al-Baqarah: 178)
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS Al-Maidah: 45)
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS Al-Israk: 33)
Yang berhak dihukum
Dalam Islam tidaklah semena-mena membolehkan orang menghukum mati orang lain kalau bukan karena dilandasi oleh firman Allah dan sunnah Rasul-Nya. Karenanya sangat salah besar kalau ada orang yang berpendapat, bahwa hukum Islam itu kejam karena membolehkan qishash terhadap pembunuh. Timbal balik pertanyaan akan muncul; siapakah yang lebih kejam dan paling awal kejam orang yang memberlakukan hukum Islam atau pembunuh orang yang membuat dia harus dibunuh pula. Sudah pasti jawabannya lebih kejam seorang pembunuh yang membunuh orang lain tanpa ada mandat bagi dirinya.
Islam hanya membolehkan membunuh mati tiga jenis manusia; pertama adalah pembunuh, kedua adalah pezina muhshan dan ketiga adalah orang murtad. Selaras dengan hadis Rasulullah SAW: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya adalah Rasul-Nya, kecuali disebabkan oleh salah satu dari tiga hal, yaitu orang yang telah kawin kemudian berzina (pezina muhshan), orang yang dihukum mati karena membunuh, dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah (murtad)”. (HR Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, kalau Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia yang disahkan PBB tahun 1948, yang dalam pasal 3 berbunyi: “Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi”. Itu berarti tidak seorangpun dibolehkan membunuh orang lain dengan alasan apapun jua, tapi kalau ada orang yang terlanjur membunuh seseorang tanpa dibenarkan oleh hukum terutama hukum Islam, maka terhadap dia diberikan sanksi dan hukuman, bukan dibunuh, cuma hukuman bagi dia adalah qishash (membunuh balik sipembunuh).
Oleh karenanya, tidak boleh seorang pegiat HAM melarang hukum qishash berlaku di bumi ini, karena ini bumi Allah bukan bumi dia, Allah punya hukum dan undang-undang yang sangat amat objektif dan adil.
Jadi, hukuman mati dalam Islam dibolehkan hanya terkait dengan hukum hudud yang di dalamnya ada tiga komponen, yaitu: qishash, hudud, dan ta’zir. Selain itu tidak ada landasan hukum samasekali dan tidak dibenarkan dalam Islam. Berkaitan dengan kasus-kasus baru yang berhubungan dengan bandar narkoba yang dihukum mati itu termasuk kedalam kasus ta’zir yang hukumannya ditetapkan oleh hakim berdasarkan kemuslihatan dalam konteks al-maslahah mursalah. Wallahu a’lam.