Pelita yang Padam
Gema JUMAT, 29 JULI 2016
Oleh : Murizal Hamzah
Atmosfir Aceh seolah-olah gelap. Detak jarum jam sepertinya berhenti. Bumi mendesah, langit menangis. Umat Islam di seluruh Aceh khususnya menunduk kepala mengirim doa. Kita pantas terkejut dengan kabar berpulang dua ulama kharismatik pada Minggu lalu.
Mereka meninggalkan umat yang masih membutuhkan penceraham dalam waktu yang berdekatan. Dua cahaya yang menerangkan Tanoh Serambi Mekkah yang wafat yakni Teungku Haji Mukhtar Luthfi bin Abu Haji Abdul Wahab bin Abbas bin Sayyid Al Hadhrami yang disapa Abon Seulimuem dan Abuya Drs Djamaluddin Waly bin Abuya Syekh Haji Muda Muhammad Waly Al Chalidy.
Kita sepakat, cara Allah mencabut ilmu Islam yakni para ulama berpulang ke Rahmatullah. Semua setuju, ulama adalah tempat umat dan umara bertanya berbagai masalah hidup di dunia hingga ke akhirat. Jika umara meninggal dunia, yang antre menganti umara itu sangat panjang. Bahkan tidak segan-segan menjilat atau menyebarkan fitnah untuk meraih posisi tahta tersebut. Sebaliknya, jika ulama yang wafat, butuh waktu berpuluh tahun untuk menjadi sosok ulama. Predikat ulama tidak diperoleh dengan selembar ijazah layaknya umara dan umat yang memperoleh pendidikan di lembaga pendidikan formal. Ulama dan umara memiliki posisi tersendiri dalam melayani umat.
Setiap yang bernyawa akan meninggal dunia. Secara fisik, dua ulama itu tidak ada lagi. Secara wawasan pengetahuan, ilmu ulama itu terus hidup sepanjang masa melalui sikap pengikutnya. Ilmu ulama itu terus mengalir kepada umat dan umara melalui buku, ceramah-ceramah anak murid dan sebagainya. “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda),
Berpisah roh dengan jasad adalah sunatullah sebagaimana setiap detik manusia lahir ke bumi. Mereka yang tutup usia sudah menyelesaikan hidup di dunia yang fana ini. Apalagi yang dipanggil oleh Allah ketika shalat atau pada hari atau malam Jumat dengan harapan itu berakhir dengan baik. Sebaliknya kita yang masih bernapas ini yang belum ada kepastian. Di mana dan kapan nyawa kita akan berpisah dengan tubuh? Semua misterius bagi manusia. Perkara langkah, rezeki dan maut sudah ditetapkan oleh Allah SWT sejak manusia di rahim.
Kembali pada ulama yang dari tahun ke tahun semakin berkurang perlu upaya regenerasi kader ulama dipersiapkan secara dini. Melahirkan ulama butuh kesabaran dan istiqamah. Kita perlu menciptakan ulama yang selalu bersama umat dan umara. Ulama bukan hanya pembaca doa pada acara kematian atau acara serimonial. Lebih dari itu, ulama mengingatkan umara dan umat dari kesalahan atau khilaf. Ulama adalah paku bumi sehingga bumi tidak tergoncang keras.
Bahkan ulama bisa menjadi umara seperti Gubernur Nusa Tenggara Barat Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi yang dikenal sosok penghafal Quran dan piawai di bidang Islam. maklum yang bersangkutan adalah sosok ulama yang dikenal di sana. Tidak berlebihan jika sosok ulama bisa menjadi bupati, wali kota, gubernur bahkan presiden seperti Gus Dur yang merupakan sosok ulama. Sekedar catatan, Gus Dur sangat menghormati ulama Abu Woyla dari Aceh Barat
Ulama diibaratkan sebagai pelita. Yang namanya pelita tidak boleh padam karena mengganggu peradaban masyarakat. Untuk itu, tugas umat Islam untuk terus menciptakan kader-kader ulama agar krisis ulama terjawab. Lazimnya, seiring dengan perjalanan waktu, yang benar-benar sosok ulama akan terus bersama rakyat melakukan amar makruf nahir munkar.
Kepergian ulama itu selalu ditangisi oleh ribuan warga. Tidak ada sebutan mantan atau bekas ulama karena amanah itu diberikan oleh warga. “Sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidz)