Hubungan Aceh-Kedah (Bagian terakhir dari tiga tulisan) Semalam di Kampung Acheh
Ameer Hamzah
Gema JUMAT, 15 Januari 2016
Tanggal 24 Desember 1915 yang lalu, kami berada di Kampung Acheh, Yan Kedah Malaysia. Kami tiba di sana menjelang Isya. Setelah shalat isya kami memperkenalkan diri, bahwa kami datang dari Banda Aceh dalam rangka memenuhi undangan Seminar Sejarah Negeri Kedah di Kota Padang Sera yang berlangsung 18 sampai 23 Desember 1915.
Masyarakat Kampung Acheh merasa senang menyambut kami. Kami yang sedang memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia, seorang tokoh (Cek Gu, Abdurrahman) interupsi menyuruh kami memperkenalkan diri dalam bahasa Aceh saja, sebab semua yang hadir (jamaah) pandai berbahasa Aceh.
Mereka adalah generasi keempat dari nenek mereka yang datang ke sana seabad yang lalu. Dan kamipun berbahada Aceh. Setelah ramah tamah di Meunasah Irsyadi dan makan malam di sebuah restoran di Pekan Yan yang dipandu Cek Gu Abdurrahman, malam itu, kami diantar ke KAMC (Kampong Acheh Management Centre) tempat penginapan yang sangat menyenangkan. Dalam kamar tersebut ada fasilitas semewah hotel, kamarkamar tersebut sengaja dibuat untuk disewakan kepada tamu yang datang menikmati panorama alam kampung Aceh yang terletak dipinggir gunung, sekaligus pinggir laut. Udaranya sejuk dan nyaman, sungai kecil mengalir membelah Kampung Aceh yang ditumbuhi pohon durian, manggis, langsat dan rambutan.
Uniknya Kampung Aceh adalah kentalnya bahasa Aceh yang dipelihara turun-temurun. Bahasa Aceh orang kampong Aceh lebih halus dari bahasa Aceh orang di Aceh. Jalan-jalan dan lorong di Kampung Aceh, semua diberi nama tokoh Aceh kampung tersebut. Antara lain, Jalan, Tgk Mohammad Irsyad ie leubeue, Jalan, Tgk. Hamzah, Jalan Ampon Paya, Jalan Nyak Maun, Jalan Nyak Agam, jalan Tgk Di Balee, Jalan Tgk. Mad Dhan, Jalan Abu Hasballah Indrapuri, dan lain-lain.
Nama meunasah adalah adalah “Meunasah Tgk Irsyad ie Leubeue yang diasaskan tahun 1992 oleh ulama besar asal Pidie tersebut. Dalam komplek meunasah ini masih ada bekas rangkang beuet Tgk Chik Ie leubeue. Begitu juga di Kampong Seutui, seberang jalan, masih ada Rangkang Beuet, Abu Di Balee (Umar Bin Auf), ayah Abu Hasballah Indrapuri dan Abu Dehan.
Dalam komplek dayah tersebut juga terdapat makam umum, tiga makam yang dipugar baik adalah Makam Abu Oemar Bin Auf yang kalau di Aceh lebih dikenal dengan Abu Oemar Di Yan, juga makam Tgk Haji Hasballah Bin Oemar yang kalau di Aceh lebih dikenal Abu Indrapuri. Satu makam lagi adalah makam Abu Muhammad Dhan (Abu Deuhan), adik Abu Indrapuri. Abu Deuhan juga diabadikan sebagai nama gedung Serbaguna di Komplek KAMC.
Dalam komplek tersebut juga terdapat galeri Acheh. Semua yang bernuasa Aceh ada disitu. Selain ada jambo-jambo indah juga ada meunasah di tepi sungai (Krueng Gampong Aceh). Kami juga melihat sebuah rumah penginapan yang bertuliskan nama H. Harun Keuchiek Leumiek. Di depan rumah tersebut juga ada Jambo H. Keuchiek leumiek sumbangan tokoh Aceh tersebut.
Di seberang sungai juga ada rumah-rumah penginapan yang sangat asri. Juga ada tulisan-tulisan bahasa Aceh. Misalnya di toilet (tandas), ada tulisan Pria dan di bawahnya tertulis Agam. Begitu juga di bawah tulisan Wanita tertulis lagi Inong. Dalam komplek yang disewakan untuk pelancong tersebut juga ada kantor IMAM (Ikatan Masyarakat Aceh Malaysia) cawangan Keudah. Imam mennerbitkan bulletin “Haba Geutanyoe” sebulan sekali.
Komplek KAMC juga disewakan untuk pesat kawin (walimah), seminar, pandu (pramuka) yang berkemah, dan siapapun yang ingin menggunakannya. Khusus masyarakat Aceh-Indonesia yang datang ke sana akan dijamu gratis kata Cek Gu Abdurrahman. “Geutnyoe wajeb peumulia jamee selama lhee uroe”, tambahnya. Keesokan harinya, kami membuat wawancara dengan berbagai tokoh Aceh untuk menggali informasi yang sedalam-dalamnya mengenai sejarah Kampung Acheh.
Kami bertemu dengan tokohtokoh kampong tersebut antara lain; Pak Malik (78), Cek Gu Abdurrahman (60), Muhammad hakimi, 40), Hj. Jazni (50), Cek Gu Rahim,(60) Cek Gu Yeh (65) dan lain-lain. Semua merka memberi informasi yang sangat bermanfaat. Mereka juga membawa kami untuk meninjau pantai Yan tempat mendarat orang Aceh seabad silam. Mereka juga membawa kami ke Kampung Titi Ayun, bekas kampung Aceh yang sudah diambil alih (ganti rugi) oleh Kerajaan untuk keperluan proyek negara.