Sekilas Shalat Taraweh Di Masjid Raya Baiturrahman
Ameer Hamzah
Gema JUMAT, 10 JUNI 2016
Oleh H. Ameer Hamzah
Shalat sunat Taraweh di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh telah ada sejak abad ke 16 tentunya. Bersamaan dengan adanya Masjid Raya yang didirikan oleh Sultan Islkandar Muda. Berapa rakaat shalat Taraweh di zaman itu? Tidak ada peninggalan sejarah, baik tertulis maupun cerita umat. Saya menduga Shalat Taraweh waktu itu berjumlah 20 rakaat, tambah tiga rakaat witir. Alasan saya, karena zaman itu sangat identik dengan Mazhab Syafi’i, dan kitab-kitab Jawi yang beredar di Aceh semuanya menulis shalat Taraweh 20 rakaat, tambah shalat witir tiga rakaat.
Setelah paham reformis datang dari Mesir dan Arab Saudi, shalat dua puluh rakaat ditiadakan di Masjid Raya Baiturrahman dan digantikan menjadi delapan rakaat tambah tiga witir. Menurut Almarhun H. Soufyan Hamzah (Imam Besar), shalat delapan rakaat, tambah witir tiga rakaat dimulai tahun 1936. Perubahan dari 20 ke delapan rakaat, hasil muzakarah ulama Aceh juga waktu itu. Antara lain; Abu Indrapuri, Abu Lam Jabat, Abu Lueng Bata dan Tgk. Abdullah Ujong Rimba.
Penduduk di sekeliling masjid umumnya pedagang dari Sumatera Barat, yang kebetulan mereka adalah orang-orang yang berpahamam reformis. Gerakan tajdid Muhammadiyah juga sangat kuat ketika itu. Shalat delapan, praktis dan tidak banyak zikir tambahan. Sedangkan shalat 20 rakaat butuh waktu tiga kali lebih lama dari shalat delapan. Tetapi bukan itu masalahnya. Masalah keyakinan tentu paling mempengaruhi.
Shalat Taraweh delapan rakaat tambah tiga witir bertahan sangat lama juga, sejak 1936 sampai 1996.Pemuda Rabithah Thaliban Aceh, di bawah pimpinan Tgk. Bulqaini Tanjongan datang ke masjid Raya meminta agar di Masjid Raya , juga dibolehkan shalat 20 rakaat. Permintaan Rabithah Thaliban dipertimbangkan oleh Imam Besar Tgk. H. Soufyan Hamzah. Waktu itu beliau berkonsultasi dengan Gubernur Aceh, Prof. Dr. H. Syamsuddin Mahmud, juga dengan Damren dan Kapolda Aceh mengenai shalat taraweh di Masjid raya Baiturrahman. Gubernur Aceh, Pah Syam –demikian beliau dipanggil—setuju agar di masjid raya agar dibolehkan Shalat taraweh 20 rakaat.
Menurut cerita Pak Syam, beliau telah mendapat masukan dari sejumlah ulama dayah, agar di Masjid Raya juga dibolehkan shalat 20 rakaat sesuai dengan Mazhab Syafi’i. Untuk perubahan tersebut, maka pihak Thaliban dan Piahk BKM Masjid Raya duduk bermusyawarah. Saya masih ingat yang hadir dalam musyawarah tersebut antara lain; Tgk. H. Saufyan Hamzah, Tgk. H. Sanusi Hanafi, Tgk. Ridwan Johan, Imam Suja’, Dr. H. Alyasa’ Abubakar, dan saya sebagai Ketua Remaja Masjid waktu itu. Pihak Rabithah Thaliban yang dipimpin oleh Tgk. Bulqaini hadir cukup banyak. Lebih kurang 50 orang. Tempatnya di aula belakang Masjid raya.
Hasil musyawarah tersebut diputuskan. Shalat di Taraweh di Masjid Raya Baiturrahman delapan dan 20 rakaat. Setelah Shalat delapan dan witir, Imam diganti untuk melanjutkan sampai 20 rakaat. Jamaah yang shalat delapan dan 11 rakaat dengan witirnya, mundur (pulang), dan yang melanjutkan 20 mengatur shahf kembali.
Tim perumus terdiri dari: Ameer Hamzah (Ketua). Ridwan Johan (Sekretaris), Anggota: Tgk Bulqaini Tanjungan, Tgk. Ali Imran, Imam Suja’, Tgk. Sanusi Hanafi, H. Alyasa’ Abubakar, dan sejumlah nama lain yang saya tidak ingat lagi. Hasil rumusan tersebut disahkan oleh Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman, Tgk. H. Soufyan Hamzah. Pengumuman tersebut dimuat oleh harian Serambi Indonesia dan Gema Baiturrahman secara utuh.
Demikianlah sekilas sejarah Shalat Taraweh di Masjid Raya Baiturrahman. Mari kita jadikan nuansa perbedaan itu sebagai rahmat dan saling tasamuh. Janganlah gara-gara beda rakaat shalat sunat merusakkan ukhuwah islamiyah kita. Ukhuwah lebih mulia dari saling merendahkan dan melahirkan nilai-nilai kebencian.
Penulis Pemimpin Umum Tabloid Gema Baiturrahman.